topi toga (onoaja.blogspot.com)SEORANG kawan lama, bule, datang ke rumah kemarin sore. Sesudah bersopan-sopan menanyakan keadaan kami selama ini, istri bagaimana, anak bagaimana, kesehatan bagaimana, cucu berapa dan lain sebagainya, kawan tadi langsung menodongkan permintaan untuk memberinya naskah pidato pengukuhan saya.

“Saya datang, lho, pada pengukuhanmu.”

“Kok saya tidak lihat kamu. Kamu ‘kan tidak ikut kasih selamat pada saya, to ?”

“Tidak. Soalnya saya datang nyêlonong duduk di belakang waktu kamu sudah mulai berpidato.”

“Apakah itu alasan yang sah untuk tidak menyalami saya sesudah itu ?”

“Lebih dari cukup. Soalnya aku jengkel, nggondok betul sama bangsamu ini. Seharusnya tidak, wong saya sudah kenal bangsamu lamaa sekali. Tapi kali ini, toh, saya tidak bisa menahan kejengkelan saya.”

“Tunggu dulu, dong. Kau sekarang ngomong sudah seperti orang Jawa saja. Mutêr-mutêr. Wong saya tanya, kenapa kamu tidak kasih selamat saya. Kok yang kamu ceritakan, kamu duduk nyêlonong di belakang karena datang terlambat. Kamu mau menjawab pertanyaanku atau tidak, sih ?”

Dia tertawa lagi.

Lha, ya itu. I am just about to tell you the reason. Tapi, aku ‘kan harus cerita latar belakangnya dulu.”

“Nahh … itu yang saya bilang seperti orang Jawa. Mutêr-mutêr. Aku bangga, akhirnya ada juga orang bule yang bisa ketularan orang Jawa.”

“Mau dengar cerita saya, tidak ?”

“Mau, … mau.”

“Di bagian belakang ruang senat itu aku dapat tempat duduk yang sebenarnya enak juga. Aku sudah siap pasang kuping untuk mendengarkan apa yang akan kamu ocehkan. Eh, … mike-nya mlêmpêm, suaramu groyok. Dan di atas semua itu, orang-orang yang ada di kiri kanan saya pada asyik ngobrol sendiri. Tidak tentang pidatomu yang tidak bermutu itu, tapi tentang segala macam soal di dunia. Itu yang bikin saya jengkel. Belum sampai habis kau pidato, aku sudah pergi. Itu sebabnya aku tidak kasih selamat kamu. Mana pidato itu. Aku harus segara pergi !”

Aku segera ambilkan naskah pidato itu. Cara dia minta dan cara memberi kesan kêsusu menunjukkan kalau dia sudah kembali jadi bule. Dia pun segera pamit sesudah mendapatkan naskah pidatoku. Dia datang seperti angin puting beliung saja. Mak wuussssh ….. !!! Terus ngilang lagi.

Saya tercenung ingat gêrundêlan dia tentang khalayak yang pada mengobrol sendiri selagi saya pidato. Wah, …. Kalau dia benar, cilaka ini ! Saya sudah ngêdên, mak uêkq-uêkq untuk berpidato yang pretensinya ilmiah bangêt, jé ! Lha, kok orang pada pating grênêng ngobrol sendiri. Lha … terus tepuk tangan yang panjang itu tadi, nepuki apa ? Saya jadi panik. Saya jadi mindêr bangêt. Ciloko tênan !

Baru menggerutu begitu, mak ngiing, bel pintu rumah dipencet orang. Eh, … Prof. Lemahamba datang nongol.

“Halo, Prof. baru. Masih pegel linu ? Gosok parêm, dong !”

Saya gurawalan menyambut beliau. Beliaulah professor yang sesungguhnya. Titel akademiknya saja dua setengah kilometer panjangnya, omongannya selalu berbobot ilmu, mantêp, micårå, canggih. Penjelasannya selalu meyakinkan kejelasannya. Maka saya pun tidak menyia-nyiakan kedatangannya.

“Prof, baru saja ada kawan bule datang yang terus membikin saya mindêr bangêt.”

Elho, … why should a bule made you minder ? Kamu di-ênyèk apa ?”

Lha, bagaimana tidak mindêr, Prof. Katanya hadirin yang tidak mendengarkan pidato saya, malah pada ngobrol sendiri. Lha, ‘kan jadi panik saya.”

“Kenapa panik ?”

Lha, kalau menurut Prof. Lemahamba, pernyataan kawan bule itu betul, tidak ?”

“Lho, ya betul, dong. Masa itu berita baru buat kamu ?”

Saya jadi shock berat. Saya terdiam, thêngêr-thêngêr.

Oalahhh, Geeng, Geng. Katanya kamu itu, budayawan, sosiolog dan entah apa lagi. Kok tidak bisa menangkap fenomena yang jelas wålå-wålå dari sukumu, heh ?”

“Maksud Prof, apa ?”

“Lho, kamu kira peristiwa pengukuhan itu apa ? Itu ‘kan tidak ada bedanya dengan kamu bikin wayangan, to ? Orang-orang yang kau undang itu datang untuk suatu peristiwa sosial, social event, untuk ramé-ramé lihat wayangan. Tentu saja mereka mendengarkan pidatomu sembari ngobrol tentang ini dan itu. Tentang nyonya Diah, tentang Afghanistan, tentang Presiden Bush, tentang anak istri mereka, tentang apa saja. Tapi, apa kamu kira mereka tidak bisa menangkap pidatomu ? Oohh … bisa, bisa. Mereka tangkap semua apa yang kamu omongkan.”

“Ah, masa, Prof ?”

“Lho, buktinya mereka juga tertawa sedikit waktu kamu mencoba ndhagêl. Bertepuk tangan sehabis kamu pidato. Kalau mereka tidak mengerti pidatomu, masak mereka begitu ? Itu ‘kan sama saja dengan kalau kamu nonton wayang, to ? Sambil ngantuk-ngantuk, sambil jajan rujak, sambil bercanda, tapi kamu ‘kan tahu ceritanya, to ?”

“Ah, sampeyan itu hanya mau menyenangkan hati saya saja, Prof.”

“Lho, tidak ! Saya hanya mau bilang itu gejala biasa meski itu terjadi di ruang senat. Itu bahkan memperkuat yang kamu omongkan dalam pidatomu. Terus kamu mau apa ? Wong kultur bangsamu memang begitu, kok ! Malah yang mau mendengarkan betul-betul itu, yang tidak mau diganggu kiri dan kanannya itu yang sudah londo. Sudahlah. Just relax, take it easy. You’re allright. Wis yo ?

Mak wuuushhhh …. !! Angin puting beliung berhembus lagi. Aku tercenung lagi. Masih memikirkan dua tamu saya tadi. Ah, … sudahlah. Saya jadi lapar.

“Mr. Rigen ….. Mr. Rigen ….!!!

Yogyakarta, 23 Mei 1989

*) gambar dari onoaja.blogspot.com