SEKATEN telah lampau. Seperti tahun lalu, tahun ini saya tidak sempat menengoknya. Pekerjaan mondar-mandir Yogyakarta-Jakarta, pekerjaan rutin di kampus selalu saja menunda keinginan untuk pada satu malam jalan-jalan ke alun-alun menyaksikan ombyaking kawula Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan solidaritas mereka. Solidaritas ? Solidaritas kepada siapa ?

Mister Rigen, kemarin kalian nonton Sekaten berapa kali ?”

“Tiga, eh, … empat kali, Pak.”

Wehh, kok bolehnya katog !

Lha, yang dua kali sama bune Beni, thole Beni, mengantar simbok sama Madam. Kalau cuma sekali mengunyah sirih di gapura mesjid, simbok sama Madam tidak puas itu, Pak. Menurut mereka, kalau mau awet muda, makan sirihnya mesti beberapa kali.”

Yang dipanggil simbok adalah ibunya Ms. Nansiyem, dus ibu mertua Mr. Rigen, yang sekarang sudah berumur enam puluh tahun. Dan Madam kira-kira juga seumur itu. Sunggguh dua orang janda yang memandang kehidupan di depan dengan optimisme besar. Sembari mengunyah sirih sekali setahun di gapura masjid keraton direntangnya terus umur mereka.

“Terus kamu sendiri mengunyah apa, Gen ?”

Yakk, Bapak. Mosok saya ikut ngunyah sirih. Nggih mboten, Pak. Saya sama thole, nunggu mereka nglesot di tangga gapura mendengarkan gamelan Kiai dan Nyai Sekati.”

“Apa menurut kamu suara gamelan itu merdu, to Gen ?”

“Wah, kalau dibanding sama gamelan uyon-uyon ya kalah mat dan gayeng, Pak. Cuma itu lho, Pak.”

“Cuma apa, Gen ?”

“Gamelan Sekaten itu suaranya cuma cemplang-cemplung kok bisa bikin merinding, to Pak.”

“Ah, mosok. Kamu saja itu yang begitu.”

Ee, Bapak kok tidak percaya, lho! Simbok, Madam, bune Beni semua merinding lho, Pak. Dan pasti lainnya juga begitu.”

Menurut Mr. Rigen gamelan Kiai dan Nyai Sekati adalah gamelan yang bukan sakbaene gamelan. Bukan gamelan sembarangan. Makanya yang mendengarkan pada merinding semua.

Ning merindingnya itu merinding yang baik, lho Pak. Bukan merinding yang bikin ngeri itu.”

Lha, merinding yang yang tidak bikin ngeri itu yang bagaimana ?”

“Merinding yang bikin nglangut. Bikin adem dan tentrem begitu, lho Pak. Plang-plung, plang-plung, ning terus mak nyes di hati dan pikiran, gitu lho Pak.”

Saya membayangkan beratus mungkin beribu orang pada duduk nglesot di halaman masjid keraton, di bawah gapura, di emperan, di bawah pohon, dengan wajah entah ke mana mendengarkan suara gamelan itu dengan syahdunya. Orang-orang yang entah datang dari mana. Orang yang seperti Madam, yang meskipun belum sembuh benar dari sakitnya, memerlukan turun dari desanya di Tepus nun jauh di selatan sana. Orang yang seperti simbok, yang jauh datang dari desanya Jatisrono di kawasan Wonogiri. Apakah mereka datang untuk sekadar menikmati segarnya sirih yang akan membuat mereka awet muda dan mendengarkan Kiai dan Nyai Sekati supaya hati dan pikiran jadi mak nyes seperti digambarkan oleh Mr. Rigen ? Ataukah itu yang disebut daya tarik kolektif dari satu tradisi ?

Lha, terus yang dua kali lagi kamu nonton sama siapa, Gen ?”

Mr. Rigen tertawa nyekikik secara misterius. Suaranya pun lebih rendah beberapa oktaf.

Lha, nggih niku, Pak. Saya diajak konco-konco pembantu di Sekip untuk nonton ndangdut di Sekaten. Ning janji tidak boleh ngajak konco wingking. Wee … jebul edan saestu ndangdut di Sekaten itu, Pak.”

Edane ? Wong ndangdut saja kok pakai edan segala.”

Hot, Pak. Hot …. !”

Huss, cah Praci wae kok tahu hot segala. Hot itu apa, sih ?”

Pokokipun goyangnya penyanyi itu panas. Hot ! Sangsaya dalu sangsaya hot. Mangkin malam mangkin gayeng, saestu lho, Pak.”

“Terus kamu jadi merinding seperti waktu mendengar gamelan Kiai Sekati ? Terus kamu nonton lagi supaya merinding lagi ?”

Yahh, Bapak ‘ki terus begitu, lho. Tidak boleh, to Pak ?”

“Ya, boleh-boleh saja. ‘Kan kamu sudah jadi orang. Itu hak kamu untuk milih hiburan. Mana saya berani nglarang-nglarang kamu. Asal tugasmu beres, tidak bikin repot dan susah orang lain dan yang penting tidak dikrawus istrimu, pipimu yang peyot itu. Ongkos jahitnya itu lho, Gen, yang mahal … “

“Yang nonton itu bukan cuma barisan batur seperti saya dan konco-konco itu, lho Pak. Banyak priyayinya juga. Mahasiswa, pelajar, malah bapak-bapak dosen dan pegawai saya lihat juga pada nonton itu, Pak.”

Lha, mereka ‘kan ya manungsa kayak kamu to, Gen. Masak cuma kamu yang boleh merinding lihat ndangdut Sekaten ?”

Saya membayangkan berpuluh, beratus orang pada duduk terdiam menghadapi panggung. Wajahnya terpaku pada sang primadona yang menggoyangkan pinggulnya. Bajunya aduhai tipisnya. Mungkin yang paling brukut pada tubuhnya hanya sepatu laars-nya yang tinggi hingga lutut. Bunyi seruling, gendang dan mungkin juga tabla yang mak nduuttt semangkin membuat goyang sang primadona semangkin seser. Wajah-wajah penonton melongo, mulut ndoweh, iler netes, kalamenjing alias jakun naik-turun dalam frekuensi yang meninggi. Siapakah mereka itu ? Dan para penyanyi, penari dan pemusik ndangdut itu ? Saya tidak dapat memastikan meja prasmanan yang bagaimana gelanggang alun-alun Sekaten sekarang ini. Hidangan gamelan Sekaten itu di sebelah timur dan hidangan ndangdut hot di sebelah barat. Penikmatnya ada yang menyantap dengan memilih. Tetapi tidak kurang juga seperti angkatan Mr. Rigen yang tampil sebagai penikmat ulang-alik dan merasakan hidangan-hidangan itu sama nikmatnya. Sama merindingnya.

Sampai jumpa di Sekaten yang akan datang. Apakah simbok dan Madam akan turun lagi dari Jatisrono dan Tepus untuk makan sirih dan liyer-liyer menikmati merindingnya gamelan Kiai dan Nyai Sekati ? Apakah Mr. Rigen masih akan sabar dan telaten menggiring kerabatnya itu ke bawah gapura masjid ? Atau Mr. Rigen akan lebih betah lagi menonton ndangdut Sekaten ? Dan barisan pemusik, penyanyi dan penggoyang pinggul itu akan lebih besar dan lebih berani ?

Eh, ngomong-ngomong, berapa ya keuntungan bersih pasar malam Sekaten tahun ini ……

 Yogyakarta, 10 Nopember 1987

*) gambar dari watukuwatumu.wordpress.com