agendajogja-ketoprakpentas PS Bayu pimpinan Gito-Gati di Nanggulan Sabtu malam kemarin benar-benar dahsyat. Bagaimana tidak. Ada kurang lebih 10.000 manusia memenuhi lapangan olah raga itu. Mata mereka tertuju kepada pentas yang malam itu menayangkan “Joko Umbaran” sejak pukul 21.00 hingga pukul 3.30 pagi. Tertawa mereka yang ger-geran itu tidak putus-putusnya membahana sepanjang tujuh jam seakan waktu yang begitu panjang tidak berarti banyak bagi masyarakat petani yang biasa bekerja keras itu.

Kakek dan nenek yang sudah thuyuk-thuyuk, ibu-ibu yang menggendong anak-anak mereka yang masih menetek, suami-suami mereka dan para remaja yang sedang pacaran, semua tumplek-blek membangun lautan manusia pada malam yang agak dingin tetapi bebas awan itu. Saya melihat sebagai fenomena yang menggetarkan. Saya membayangkan rumah-rumah mereka yang sederhana di dukuh-dukuh yang bertebaran di sekitar bukit-bukit agak jauh dari lapangan tempat ketoprak dipentaskan malam itu.

Saya membayangkan kerja keras mereka sebagai petani sepanjang hari di sawah-sawah mereka. Saya membayangkan perjuangan mereka yang sengit untuk mencapai target-target hidup mereka. Saya membayangkan kelelahan tubuh mereka yang seharian dihajar oleh terik matahari dan hujan. Tetapi malam itu, apa yang saya bayangkan sebagai serentetan penderitaan jadi tampak sebagai bayangan yang saya bikin-bikin saja. Para kakek dan nenek pada tertawa terkekeh melihat dan mendengar dialog dan gerakan-gerakan yang lekoh alias semi porno, para ibu yang sedang meneteki anak mereka tidak kurang pula gembira dari para manula, manggut-manggut sembari tangan mereka menahan gronjalan tetek-tetek yang disadap bayi-bayi mereka yang tidak peduli dengan semua itu. Dan para remaja yang tentu saja melupakan angka-angka sekolah mereka kelihatan meremas-remas tangan cewek-cewek di samping mereka.

“Apakah bayi-bayi itu tidak akan kena pneumonia malam-malam begini diteteki di udara terbuka. Sepanjang malam lagi !” Saya menggerendeng sendiri, jelas karena ingat cucu saya.

Mr. Oberlin, sahabat dan rekan saya di kantor, nggleges.

“Heh … heh … heh … Pak Ageng ngomong begitu karena terbiasa berpikir cara kulon. Sampeyan bisa menggerendeng begitu karena sampeyan punya irama hidup sehari-hari yang tercetak menurut cara kulon. Ha .. ha .. buat mereka nggak apa-apa kok ngewer-ngewer anak pada malam hari begini.”

“Ah, ya. Pastilah saya nyeletuk begitu tadi karena saya ingat cucu saya yang begitu diimi-imi oleh semua anggota keluarg di Cipinang. Tapi apa itu soal berpikir cara kulon atau cara wetan ?” Saya ngunandika dalam hati. Malam semangkin larut. Pukul dua pagi kantuk sudah tidak tertahan lagi dan saya pun segera mohon pamit pada panitia.

Pagi harinya pada pukul delapan saya sudah dibangunkan oleh bedhes cilik Beni Prakosa.

“Pak Ageng, beli penggeng eyemnya Pak Joyoboyo apa tidak ? Itu lho sudah duduk di depan ! Saya minta sate ususnya, ya ?”

Dengan geragapan dan boyok masih kaku semua, saya keluar kamar dan langsung duduk di kursi kerajaan saya.

“Wah, panjenengan kok kelihatan capek betul ! Apa habis kerja nglembur ?

Yak, sampeyan itu. Malam minggu kok nglembur. Nglembur apa ? Saya capek dam masih ngantuk karena habis nonton ketoprak di Nanggulan sampai jam dua pagi, Pak Joyo.”

Mr. Rigen yang mungkin masih anyel karena tidak saya ajak nonton menyambung.

Ha, inggih niku, Mas Joyo. Apa tidak elok, Pak Ageng kok kerso menonton ketoprak, lho.”

Huss ! Memangnya saya tidak pernah nonton ketoprak apa ?”

“Ya, sok-sok, kadang-kadang saja. Itu pun biasanya cuma satu dua jam saja. Rak inggih to, Pak Ageng ?”

Touche, kata orang Perancis. Kena lu, kata orang Jakarta. Trembelane, pisuh saya.

“Pokoknya tadi malam itu saya kuat nonton sampai jam dua pagi karena ketopraknya hebat, penontonnya luber, mbludak memenuhi lapangan sepakbola. Saya kagum melihat kecintaan rakyat kita di pedesaan sama ketoprak. Lha, itu yang disebut ngleluri, ngimi-imi, mencintai dan memelihara kesenian warisan budaya tradisi kita, Gen, Pak Joyo.”

Kedua orang itu berpandangan sebentar. Sepertinya mereka merasa kaget bin heran mendengar pidato kebudayaan saya yang canggih itu. Kemudian Pak Joyoboyo pelan-pelan angkat bicara.

“Lho, Pak Ageng. Selamanya sedherek pedesaan itu akan mbludak kalau ada tontonan gratis. Apa saja akan mereka tonton waton tidak usah bayar.”

Yak, sampeyan itu. Meski gratis kalau tontonannya tidak mereka senangi dan mereka hormati mosok ya mereka tonton, Pak Joyo.

“Lho, lha inggih. Wong desa itu gelap, sepi dan mlarat lho, Pak Ageng. Kalau sudah malam mau apa sedherek pedesaan itu, kecuali mancal kemul. Lha, kalau ada tontonan, apa saja tontonan itu, ya mesti ditonton to, Pak Ageng. Lumayan buat melupakan boyok mereka yang pegel karena macul dan hidup mereka yang keras dan berat.”

Saya tercenung. Kaget mendengar analisis Pak Joyoboyo yang keras menjurus ke sinis itu. Jadi begitu to, dia melihat fenomena seni rakyat itu. Aku jadi thenger-thenger. Lha, terus dari mana dan bagaimana roso estetika keindahan wong desa itu muncul ? Masak tidak ada kesenian mereka ? kalau theater rakyat itu ditonton hanya karena mau mengusir roso sepi dan melupakan beratnya hidup, wah kok prosais betul peranan theater itu !

Saya membayangkan sekali lagi ribuan manusia yang menonton malam itu. Wajah-wajah mereka yang cerah, gembira dan sangat apresiatif mengikuti riwayat Joko Umbaran yang dahsyat, suara gamelan dan pesinden yang merdu. Mosok mereka tidak mengenal keindahan seni ketoprak ? Tetapi wajah-wajah petani yang tidak tampak lelah dan gembira itu alangkah juga indahnya ….

Yogyakarta, 14 Juni 1988

*) gambar dari agendajogja.com