visit-indonesia-1991Kadang-kadang saya bingung juga mendudukkan idola saya, Prof. Dr. Lemahamba, M.A, M.Ed, M.Sc, etc, etc … itu. Orangnya jelas cemerlang, kreatif dan innovative – terutama dalam mengendus tanah-tanah yang mau digusur atau mau dijual murah – pemurah dan tidak cêthil, sêkakar atau tidak kikir dalam membagi pengetahuannya. Idenya untuk mewaskatkan batur-batur dan mem-batur-batur-kan waskat jelas beliau yang memulai melaksanakan di kompleks kami. Ide untuk memanajemen-modernkan para abdi dalêm dan meng-abdi dalêm-kan manajemen modern juga jelas beliau yang berjasa menggerakannya. Jelas juga beliau itu cendikiawan yang sosial dan berbudi båwå lêksånå. Itu selalu saya akui setiap kali ingat beliau.

Meskipun demikian harus saya akui, untuk adilnya, bahwa beliau kadang-kadang kêtètèran, ke-over acting-an, bolehnya membagai-bagi rezeki pengetahuan beliau. Pelayan-pelayan di losmen modern beliau yang terletak di Jalan Kaliurang itu hanya boleh berbahasa Inggris dengan beliau. Bukan hanya “good morning, Pak” atau “good evening, Pak” saja, melainkan bahasa Inggris yang jangkêp, lengkap dengan kalimat-kalimatnya.

Dan bukan hanya itu saja, pelayan-pelayan itu harus membaca majalah-majalah travel dan wisata terbitan luar negeri. Menurut beliau, itu supaya pelayan-pelayan yang direkrut dari Bantul dan Gunung Kidul itu jêmbar wawasannya. Jangan DIY saja. Mereka juga harus tahu di mana itu Monte Carlo, Macao, Phuket, Kyoto, Alaska dan Maladewa.

Kemudian waktu logo ‘Visit Indonesia Year 1991’ ditetapkan seekor badak yang memakai kaos warok merah-putih dan berpayung, Prof. Lemahamba menutup losmen modernnya selama sehari untuk menggiring semua pelayannya ke kebun binatang Gembira Loka.

“Lho, untuk apa to, Prof.?”

Elho, now I am surprised you asked such a dummy question, Geng!”

“Wah, ya nyuwun agênging pangaksåmå, Prof. Wong memang bénto, kok.”

“Pelayan-pelayan hotel saya itu ‘kan anak-anak desa yang belum pernah lihat badak to, Geng! Paling mereka hanya lihat sapi, kerbau dan kambing. Mungkin juga macan buat mereka yang tinggal di Gunung Kidul. Tapi badak?”

“Apalagi yang pakai kaos warok Ponorogo nggih, Prof.?”

Hussy, … Mr. Rigen kamu jangan ikut-ikutan, ya! Ini diskusi serius!”

Saya jadi ikut-ikutan sewot.

“Sana, Gen. Kamu lebih baik ngurus belakang, cari apa yang bisa kamu suguhkan buat kami!”

Mr. Rigen, yang meskipun dirjen satu kitchen cabinet, mêngkêrêt juga waktu mendapat dampratan dari bos-bos yang memang pemegang kekuasaan. Dengan cepat dia mengundurkan diri.

“Terus bagaimana, Prof.?”

“Naah, pelayan-peleyan itu saya giring di depan kandang badak. Saya beri waktu satu jam untuk mengamati badak-badak itu berkubang. Pendeknya saya ingin mereka menghayati apa dan siapa badak itu.”

“Lantas?”

“Lantas di hotel saya tanya kesan-kesan mereka. Di tempat teratas kesan mereka bahwa badak adalah binatang berkulit tebal, tempat kedua kesan mereka bahwa mata badak itu kecil dan yang ketiga bahwa badak jalannya lamban. Mereka berkesimpulan bahwa badak adalah makhluk berkulit tebal, dus tidak tahu malu. Matanya kecil, dus lihai. Jalannya lamban, dus hati-hati penuh perhitungan. Coba, hebat tidak pengamatan mereka, Geng?”

Wééhh, élok Prof. Terus?”

Elho, you should be sensitive enough to draw your own conclusion. Tarik sendiri, dong, kesimpulanmu!”

Saya manthuk-manthuk. Luar biasa benar idola saya ini. Metoda mengajarnya itu, lho. Begitu orisinal! Tidak percuma dia pernah menggondol M.Ed dari Universitas Nebraska di Amerika sono. Pelayan losmen, anak-anak desa dari Bantul dan Gunung Kidul, harus memahami sosok sang badak.

“Terus setelah mereka tahu apa dan siapa badak itu mau dikemanakan pengetahuan mereka tentang badak itu, Prof.?”

Now, I am surprised again, Geng! Kamu ternyata lebih goblok dari yang dak kira! Badak itulah lambang kepribadian kita, goblok! Lamban, tapi itu hati-hati artinya. Mata sipit itu waspada dan lihai, pura-pura bodoh. Kulit tebal, pura-pura ndablêk, padahal ndablêk betulan dan kita senang main di comberan. Ya toh, ya toh? Itu potret kita, toh? Yang menciptakan itu berhak mendapatkan Oscar untuk logo-logo.”

Saya diam. Bengong dan bingung. Bagaimana analisa professor idola saya ini? Orang yang secemerlang beliau menganalisa logo ‘Visit Indonesia Year 1991’ kok sak énak wudêlé dhéwé!

“Apa Prof. tidak salah analisa, nih? Bukankah badak itu dipilih karena dia lambang binatang langka yang harus kita lindungi dari kepunahan?”

Prof. Lemahamba melihat saya dengan pandangan aneh.

“Aneh logikamu, Geng. Kalau memang yang dimaksud badak itu badak betulan, kenapa mesti pakai dikaosi warok Ponorogo dan dipayungi segala? Itu ‘kan jelas lambang saja, toh? Metafor, amsal? Ya toh, ya toh? Kamu itu katanya propésok sastra kok tidak bisa baca yang ada di balik yang harafiah itu to, Geng?!”

Saya jadi shocked berat waktu beliau nyandhak-nyandhak jabatan saya. Edyann! Jangan-jangan beliau benar. Wah, …. cilåkå ini!

Waktu beliau pulang, di sofa saya tiduran melihat langit-langit. Saya tidak melihat langit-langit, tapi saya melihat badak Jawa berjalan lamban sekali. Dan kulitnya tebal sekali. Ah, … ini teater absurd. Rhinoceros, rhinoceros, … kata Ionesco.

Yogyakarta, 9 April 1991

*) gambar dari ariesaksono.wordpress.com