Sketsa Umar Kayam

Mangan Ora Mangan Kumpul

Pengantar SDD


Oleh Sapardi Djoko Damono

Ketika mula-mula menerima pesanan untuk menulis pengantar buku kumpulan kolom Umar Kayam ini, terus terang saya agak kaget. Judul utamanya tetap, yaitu ‘Mangan Ora Mangan Kumpul’, namun ada tambahan sub judulnya, yaitu ‘The Legend Continous’. Mas Kayam, begitu saya memanggilnya, ternyata – sampai pada judul pun – suka glênyêngan.

Pada suatu sore akhir bulan Januari 1994, di rumahnya di Yogya, kami ngobrol : Mas Kayam, Mbak Yus, Ibnu dan saya. Mas Kayam mewartakan bahwa buku kumpulan kolomnya yang kedua akan terbit, dan saya dimintanya untuk menulis pengantar.

“Kamu ‘kan wong Solo cêkèk, tentu tidak merasa sulit menghayati glênyêngan saya itu,” begitu katanya dalam bahasa Jawa ngoko bergaya Solo. Tentu karena masa remajanya dilaluinya di kota itu.

Pada waktu itulah saya mengusulkan agar sub judulnya jangan sekedar Volume II, tetapi diambil dari sub judul sebuah film kung fu yang diputar di salah satu televisi kita. Tentu saja waktu itu saya hanya main-main, tetapi Umar Kayam ternyata sungguhan.

Namun, ketika sudah mulai menulis pengantar dengan memperhitungkan sub judul itu, saya mendengar keterangan dari penerbitnya bahwa judulnya diubah menjadi ‘Sugih Tanpå Båndå. Sub judulnya adalah ‘Mangan Ora Mangan Kumpul 2’.

Konon Umar Kayam ragu menggunakan sub judul pinjaman dari film kung fu itu, khawatir jangan-jangan nanti ada masalah hak cipta. Tetapi mungkin juga ia berpikir, penggunaan sub judul dari film kung fu itu sudah melewati batas glênyêngan, sudah norak, sudah kampungan, juga mungkin sudah nge-pop. Pemilihan judul yang baru itu jelas menunjukkan bahwa Umar Kayam ingin bertahan pada konvensi glênyêngan. Tetapi, apa sesungguhnya glênyêngan itu ? Mengapa kolom Umar Kayam , yang mula-mula ditulis khusus untuk Koran Kedaulatan Rakyat Yogya ini, disebut glênyêngan ?

Glênyêngan adalah suatu cara. Nasihat, sindiran, protes, usul dan sebagainya tentu bisa disampaikan dengan berbagai cara. Bisa dengan cara resmi, bisa dengan teriak-teriak turun di jalan, bisa dengan pidato berapi-api, bisa dengan bisik-bisik. Bisa juga dengan ringan, bercanda, tidak ngotot dan seringnya secara tidak langsung. Cara yang disebut terakhir itulah glênyêngan. Cara yang jelas culture bound, peka budaya, yang melekat pada kebudayaan tertentu, dalam hal ini Jawa.

Itulah sebabnya dalam kolom ini yang menjadi pengikat bukan tema tetapi cara penyampaiannya. Dari segi tema, Umar Kayam memiliki kebebasan untuk bergerak ke sana ke mari. Dari dapur rumahnya ke Canberra, dari pengamen sampai profesor. Ia pun merasa bebas untuk di satu kolom memberi nasihat, di kolom lain melancarkan protes dan di kolom lain menyindir kita.

Cara yang dipilih Umar Kayam ini memang peka budaya, itu sebabnya pemuatannya di Kedaulatan Rakyat bukan suatu kebetulan, tetapi hampir bisa dikatakan merupakan satu-satunya kemungkinan pilihan. Seandainya di Solo ada koran yang kuat, mungkin bisa menjadi kemungkinan pilihan lain. Tetapi saya meragukan kolom semacam ini bisa dengan aman selama bertahun-tahun dimuat di sebuah koran di Purwokerto atau Surabaya, daerah-daerah yang juga masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, tetapi memiliki sub kebudayaan yang sedikit berbeda dengan Solo atau Yogya. Dan tentu tidak terbayangkan kolom ini akan dimuat di koran Medan atau Denpasar. Ini menunjukkan bahwa khalayak yang tersirat dalam kolom ini adalah Yogya dan Solo, bukan karena banyaknya kosa kata Jawa di dalamnya, tetapi karena sifat glênyêngan itu. Dan khalayak pembaca itu tampaknya masih harus dibagi lagi, yakni lapisan yang sedikit banyak memahami bahasa-bahasa asing, sebab Umar Kayam juga merasa bebas ke sana ke mari dalam penggunaan bahasa.

Pada dasarnya Umar Kayam adalah tukang cerita, wajarlah jika rangkaian kolomnya meminjam bentuk cerita rekaan. Ada juru kisah yang sekaligus juga menjadi tokoh, ada beberapa tokoh lain yang selalu muncul, ada rangkaian peristiwa dan ada setting atau latar yang jelas. Dalam struktur semacam itulah ia menyatakan reaksi, sikap dan tanggapannya terhadap berbagai masalah. Latar yang dominan dalam kumpulan kolom ini adalah tempat tinggal si juru kisah. Ini menjadikan kolom-kolom ini mirip drama domestik. Dan ini juga berarti bahwa sejumlah masalah “besar” nasional dan internasional, sudah menjadi domestic affairs atau domesticated, yang berarti bisa dijinakkan. Mister Rigen dan anak istrinya tergolong domestic, yakni pembantu rumah tangga. Dan itu merupakan salah satu unsur penting dalam glenyengan sebagai cara pengungkapan.

Juru kisah kolom ini membayangkan dirinya sebagai “priyagung pemerintah pusat” yang lèngsèr kêprabon, alias meninggalkan tugas, sekitar dua dasawarsa yang lalu. Priyagung adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa dan fungsinya baru jelas jika di sekelilingnya ada wong cilik. Cara pengungkapan yang dipilih Umar Kayam memang mensyaratkan kehadiran wong cilik, sebab glênyêngan baru terasa kekhasan dan daya gunanya hanya jika berlangsung antara priyayi dan wong cilik. Ini sekaligus mengisyaratkan adanya suatu paradoks dalam kebudayaan Jawa. Di satu pihak menarik garis batas (yang sering sangat tegas) antara priyayi dan wong cilik, di lain pihak mensyarat mutlakkan “persamaan derajat” antara keduanya dalam setiap segi keberadaan kebudayaan itu. Ini menunjukkan bahwa glênyêngan akan terasa fungsinya jika berlangsung antara dua lapisan sosial itu, meskipun bisa saja terjadi di kalangan satu lapisan sosial saja.

Dalam salah satu adegan wayang Jawa, yang disebut goro-goro, para punakawan biasanya membicarakan berbagai masalah dengan cara glênyêngan. Dalam adegan itu, masalah yang tampil tidak hanya yang berkaitan dengan dunia wong cilik, tetapi juga politik nasional maupun internasional, misalnya hubungan antar kerajaan. Bahkan punakawan itu, yang jika dipandang dari satu sisi mewakili wong cilik, sering menafsirkan masalah utama yang merupakan tema pokok cerita wayang yang sedang digelar. Mereka lakukan hal itu bagi khalayak yang termasuk lapisan bawah, sebab yang disebut terakhir ini tentu mengalami kesulitan memahami dan menghayati tema yang tersirat dan tersurat dalam bahasa Jawa yang tidak jarang muluk-muluk, yang digunakan oleh para priyagung yang menokohi wayang. Dengan cara glênyêngan, cara penyampaian ringan dengan bahasa yang bisa dipahami orang ramai, diharapkan khalayak lapisan bawah itu bisa menangkap dengan baik masalah yang menggerakkan cerita.

Tetapi, seperti sudah disinggung, glênyêngan baru berfungsi dengan baik jika melibatkan priyayi dan wong cilik. Beberapa adegan dan jèjèr dalam wayang menunjukkan hal itu. Dalam adegan putri yang berlangsung di ruang khusus untuk putri dalam keratin, para punakawan, êmban, putri dan mungkin juga ksatria membicarakan berbagai masalah dengan cara glênyêngan. Dalam jèjèr pandhita atau jèjèr pèrtapan, yang berlangsung di pertapaan seorang pendeta yang terletak jauh dari keramaian, para punakawan bisa berdialog dengan sang pendeta, ksatria dan cantrik. Dalam adegan dan jèjèr semacam itu, orang kecil mempunyai derajat yang sama dengan priyayi, dalam beberapa hal bahkan berlaku konsep vox populi vox dei, suara rakyat itu suara dewa. Wayang Jawa menegaskan hal itu dengan menyatakan bahwa Semar adalah dewa yang dibebani tugas turun ke dunia untuk mengasuh sang protagonis agar tidak berbuat kekeliruan dalam tindakan dan pikirannya.

Demikianlah, maka Mister Rigen serta istri dan dua anaknya, yaitu Nansiyem, Beni dan Septian adalah punakawan dan êmban. Mereka itu adalah wong cilik yang suaranya harus didengarkan baik-baik. Mereka itu merupakan syarat bagi kelangsungan kebudayaan kita dan dengan segala cara berusaha untuk menegaskan keberadaannya. Dalam salah satu kolom yang berjudul “Reuni dengan Para Wong Cilik”, digambarkan perdebatan antara Pak Ageng, sang juru kisah, dengan beberapa wong cilik. Dalam narasi diungkapkannya antara lain,

‘Saya manggut-manggut. Tahu kalau saya sudah berada di tengah kebudayaan batur Jawa. Yaitu kebudayaan ngèyèl. Tetapi, tanpa kebudayaan ngèyèl itu bagaimana mereka bisa mempertahankan posisi mereka di tengah kami kaum intelektual yang menguasai semua wacana, discourse, kehidupan Jawa modern ? … Maka di samping sebagian besar waktunya itu dihabiskan untuk mengucapkan “nun inggih, sêndiko” agar tetap bisa kagêm atau terpakai oleh sang majikan. Untuk mempertahankan exist-nya sebagai manusia, ya tinggal ngèyèl itulah ! Kalau bisa èyèlan itu yang masuk akal. Kalau tidak, ngèyèl yang tidak masuk akal pun boleh juga. Kalau saya hitung-hitung, proporsi èyèlan Mister Rigen antara yang masuk akal dan yang tidak masuk akal itu kira-kira 30% masuk akal, sedang yang 70% ya yang tidak masuk akal itu. Tetapi anehnya juga, yang tidak masuk akal itulah yang selalu mengagumkam ! Di situ jelas kelihatan daya kreasi Mister Rigen. Penuh fantasi yang liar, yang wild, unsur terpenting kreasi dalam jaman post-modernism, pasca-modernism itu. Pokoké, pokoknya, ngèyèl yang aneh-aneh, néko-néko, waton sulåyå.’

Batur artinya pembantu rumah tangga, bisa juga berarti teman. Dan memang, dalam konsep Jawa, pembantu rumah tangga adalah teman yang diperlukan untuk melakukan berbagai tugas dan diajak berembug untuk membantu memecahkan masalah. Ngèyèl artinya ngotot mempertahankan pendirian, keras kepala, kepala batu. Konsep batur ngèyèl ini jelas milik priyayi, yang berpikir bahwa ia lebih tahu mengenai segala hal daripada wong cilik. Namun, bantahan yang sering ngawur itulah justru yang mengagumkan, yang tentunya juga diperlukan. Wong cilik dan èyèlan-nya itu memang bagian yang tak terpisahkan dari dunia priyayi, bagian yang diperlukan, bagian yang memberikan kebahagiaan. Demikianlah, maka salah seorang wong cilik, yaitu Pak Joyo, penjual ayam panggang, berdialog dengan Pak Ageng mengenai anak-anak Mister Rigen yang selama Pak Ageng pergi ke luar negeri tidak bisa makan sate. Kutipan ini diambil dari kolom yang sama,

“Lho, saya rak pergi lama to, Pak Joyo. Bagaimana saya bisa membelikan tholé-tholé itu sate usus ?”

Ha inggih niku, Pak Ageng. Panjênêngan rak bisa ninggali uang yang cukup selama dua bulan buat sat usus itu.”

“Eehh, … begitu to, Pak Joyo. Jadi ada bêgroting sate usus untuk bêdhès-bêdhès itu to, Pak Joyo ?”

“Meskipun bêdhès-bêdhès rak ya ada gunanya to, Pak Ageng.”

“Misalnya ?”

Elho …. Pak Ageng ini kados pundi, to ? Bêdhès-bêdhès itu tugasnya rak ya untuk melengkapi rumah tangga penjênêngan to, Pak Ageng. Tanpa mereka alangkah sepinya hidup Pak Ageng.”

Tholé dan bêdhès adalah panggilan akrab untuk anak-anak. Meskipun sebenarnya tholé berarti kelamin laki-laki dan bêdhès adalah sebangsa monyet kecil. Juru kisah kolom ini, Pak Ageng, membayangkan dirinya seorang priyagung, bahkan raja Jawa, yang dikelilingi oleh sekumpulan wong cilik yang merupakan bagian dari kebahagiaan hidupnya.

Dalam situasi semacam itu ia menerima kenyataan bahwa ternyata wong cilik-lah yang memiliki wisdom. Dalam konteks budaya yang demikianlah kolom ini ditulis. Untuk siapa? Pembaca tersirat kolom ini tentu bukan wong cilik, tetapi kaum intelektual, para priyayi masa kini yang memahami fungsi kolom dalam media cetak. Penggunaan berbagai konsep, ungkapan dan istilah bahasa asing jelas mengeluarkan wong cilik dari kalangan pembacanya. Tentunya jika wong cilik masa kini diartikan sebagai lapisan masyarakat yang oleh bangsa Inggris disebut uncultured atau unlettered, yang tidak mampu menghayati kebudayaan adiluhung.

Demikianlah, maka kolom ini berbeda dari goro-goro wayang kulit Jawa. Kolom ini tidak lurus, tetapi bengkok. Ia ironi. Ia menampilkan masalah, menyindirnya dan sekaligus menyindir semua pihak yang membicarakan maupun yang mencoba memecahkannya. Ia pun menyindir sang juru kisah. Namun ia tidak menjadi liar, tidak asal lain, tidak seperti yang dituduhkannya terhadap pasca-modernisme. Pemilihan judul kumpulan kolom ini menunjukkan sikap boleh dikatakan positif terhadap nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Jawa. Buku pertama berjudul ‘Mangan Ora Mangan Kumpul’, sekarang menjadi ‘Sugih Tanpå Båndå’ (Kaya Tanpa Harta). Umar Kayam bergerak dari satu paribasan (peribahasa) ke paribasan lain. Jika dalam judul buku pertama kumpulan kolom ini tersurat adanya niat orang Jawa untuk lebih mementingkan untuk hidup bersama-sama dengan keluarga besarnya daripada bercerai-berai mencari nafkah, maka judul buku kedua ini menunjukkan nilai-nilai lebih tegas yang paradoksal, salah satu cara khas yang sering ditempuh orang Jawa untuk menegaskan keyakinannya.

Membaca kolom Umar Kayam, saya selalu teringat pada novel Jawa yang sangat memikat, ‘Srikuning’ karya Hardjowirogo (Balai Pustaka, 1950), yang menggunakan bahasa Jawa yang sangat indah, yang hampir setiap kalimatnya adalah ironi untuk tujuan yang sama. Mirip dengan Hardjowirogo, Umar Kayam tidak memilih sikap dan cara yang pahit, yang menyakitkan atau yang penuh kemarahan. Ia mengajak kita untuk tidak norak. Ia menggoda kita untuk ikut glênyêngan.

Depok, Juni 1994