soedjatmokoWAKTU saya baru pulang dari Jakarta hari Jum’at kemarin, Mr. Rigen tergopoh-gopoh mendatangi saya,

Kados pundi, Pak. Kados pundi ?

Kados pundi apanya, Gen ?”

Ha ênggih niku.”

Lha, apanya yang ênggih niku. Kalau ngomong itu mbok yang tuntas to, Gen.”

Hoalaahh, Paakk, … Pak. Pak Koko itu, lho. Sédå ! Kok ya Bapak pas tidak di sini, lho.”

Saya terhenyak duduk di kursi. Teringat betul malam sebelumnya saya ikut melayat ke rumah almarhum di jl. Tanjung, Jakarta. Masih terbayang wajah jenazah almarhum yang begitu tenang dan pasrah. Masih terbayang potret besar yang dipasang di dekat jenazah dan sebuah karangan bunga chrysant putih tergeletak di dekatnya. Muka Soedjatmoko dalam potret itu begitu hidup dengan senyumnya yang khas hingga membuat kita susah untuk menerima bahwa ia sudah pergi.

“Saya sudah diberi tahu kok, Gen, kalau Pak Koko sédå. Tadi malam sudah melayat.”

Lha, Bapak hari ini kok malah pulang itu bagaimana ? Kok tidak nglayat ?

“Wah, … lha ya itu, Gen. Aku harus di Yogya untuk menguji. Sedih juga saya tidak bisa mengantar ke kuburan.”

Mr. Rigen memandangi saya dengan serius.

Nuwun sèwu, lho, Pak. Saya itu nggak habis pikir, kok Bapak itu tega-teganya tidak ikut melayat sahabat Bapak. Padahal hubungan Bapak begitu akrab dengan beliau.”

“Bukan hanya akrab, Gen. Beliau itu sudah semacam saudara tua buat saya dan kawan-kawan di sini. Bahkan mungkin juga guru.”

Lha, iya ! Lha, kok Bapak malah … “

“Malah pulang, to ? Kamu tahu itu juga mengganggu perasaan saya. Tapi kemudian saya malah ingat nasihat-nasihat beliau untuk selalu serius dengan tugas. Apalagi kalau tugas itu tugas mengajar anak muda atau tugas untuk rakyat banyak. Pasti beliau akan tidak senang kalau melihat saya meninggalkan tugas menguji itu.”

Mr. Rigen manthuk-manthuk, menganggukkan kepalanya, serius sekali.

“Saya itu ingat Pak Koko kalo sedang rawuh di sini dan ngêndikan kepada banyak orang itu. Bolehnya serius, gawat tapi kayaknya kok ya mantêp, mênthês, begitu, lho.”

Ayakk, … kayak kamu ngerti saja yang beliau bicarakan.”

“Lho, Paakk. Sênajan, meskipun, saya ini ya begini saja. Pondok buruk pun beta tak punya, sekolah pun hanya SD Pracimantoro. Saya itu bisa ngerti lho, Pak, omongannya orang pintêr dan orang bodho.”

“Bagiamana ngertinya ?”

“Ya … ngerti begitu saja. Padahal Pak Koko itu kalo ngomong ‘kan sering coro Londo Inggris nggih, Pak ?”

Lha, iya. Kok kamu ngerti ?”

“Ya … ngerti sekali ya tidak to, Pak. Ning ngerti. Ngerti, Pak. Saya itu mendengar orang pintêr bicara itu saya lihat juga katuranggan dan ngiman supingi-nya, ciri-ciri wataknya, Pak.”

Weehhh … élok kamu. Wong dengarkan orang ngomong saja kok pakai katuranggan dan ngiman supingi segala. Kita kaum intelektual ini kamu anggap jaran alias kuda, apa ?”

Ha, ênggih. Eh … tidak ding. Ya … bukan kuda begitu to, Paaakk. Itu cuman istilah buat mengamati ciri watak manungså kok, Pak.”

“Terus, apa yang kamu lihat ?”

Lha, katuranggan Pak Koko itu memang istimewa. Katuranggan-nya wong pintêr yang tidak sembarangan. Tidak hanya serius dan pintêr. Tapi juga tidak mau ndobos, tidak mau mintêri, gitu lho, Pak.”

Weehhh … jaan kagum aku sama kamu, Gen. Bolehnya ngerti lho, kamu. Jangan-jangan kamu cuma mau ndobos saking kagummu sama Pak Koko. Banyak lho, Gen, yang tidak kagum dan tidak senang bahkan cemburu sama Pak Koko.”

“Ya, namanya manusia, Pak. Mesti ada saja yang tidak senang, kagum dan cemburu. Itu biasa. Saya kira Pak Koko juga ngerti itu.”

Saya diam. Lagi-lagi saya dibuat kagum oleh ingon-ingon saya, Mr. Rigen. Saya tidak menduga kalau dibalik wira-wiri dia menyuguhkan teh kepada Soedjatmoko setiap kali beliau singgah dan mengobrol, dia melepaskan aji katuranggan-nya. Ramuan apa yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada orang-orang kecil dan sederhana seperti Mr. Rigen untuk menaksir pemimpin-pemimpin mereka itu ? Beberapa kali sudah saya dibikin terkecoh oleh kepekaan dan ketajaman Mr. Rigen dalam menanggapi tingkah laku kami yang dengan angkuh sering mendudukkan tempat kita sebagai orang di atas angin.

Benar-benar manungså tan kênå kinirå. Manusia tidak dapat diduga. Apakah orang Soedjatmoko tahu tentang kemampuan wong cilik yang itu ? kemampuan secara total merumuskan katuranggan sang pemimpin ? Saya tidak tahu. Lawan-lawan politik dan kecendikiawanannya sering memfitnahnya sebagai “sinyo” yang tidak kenal rakyat. Yang ini saya tahu tidak benar. Setidaknya tidak terlalu benar. Siapakah dari kita tahu dengan sesungguhnya apa dan siapa yang disebut rakyat itu ? Soedjatmoko, saya tahu, selalu berusaha untuk dekat dengan rakyat dan bangsanya. Segala kehormatan dan pengakuan yang diberikan kepadanya, jabatan duta besar, doctor honoris causa dari Yale dan Cedar Crest, hadiah Magsaysay, rektor UNU, tidak membuatnya silau dan kembali ke tanah airnya dan aktif memikirkan masalah yang dihadapi bangsanya.

“Pak, Pak. Pak Koko itu mirip dengan Pak Prasodjo Legowo, ya ?”

“Mirip apanya, Gen ?”

Pintêr-nya, prasåjå-nya.”

Ning Pak Koko tidak naik Honda èjlèk-èjlèk itu ? Rumah juga tidak sederhana seperti rumah Pak Prasodjo Legowo itu ? Pak Koko itu naik mobil, rumahnya bagus meski tidak mewah, di daerah elite, Menteng.”

“Oh … niku mbotên penting, Pak. Rejeki orang masing-masing to, Pak. Prasåjå dalam sikap itu lho, Pak, yang saya maksud. Muka mereka itu memancarkan cahaya prasåjå yang ngêss, gitu lho, Pak.”

“Eehh … ada cahaya prasåjå yang ngêss segala, Geen, Gen.”

Tetapi kemudian saya ingat sikap dia ketika tidak mau menerima tawaran kawannya yang kaya raya, yang sudah membeli nyaris seluruh blok daerah itu, untuk dibeli dengan uang seharga dua atau tiga rumah. Waktu itu saya bilang dia bodho menolak tawaran tersebut, dengan tersenyum dia berkata,

“Saya hanya mau mengatakan kepada dia yang kaya raya itu, bahwa tidak semua bisa dibelinya dengan uang …..”

Yogyakarta, 26 Desember 1989

*) gambar dari ilhamt0fiq.wordpress.com