Mr. Rigen terpesona waktu melihat foto-foto saya menari Tayub dengan lèdhèk-lèdhèk Blora. Bukan oleh tarian saya yang begitu stylish dan wajah saya yang begitu syuur waktu menari Tayub itu. Tetapi, tentu saja, terpesona oleh wajah-wajah cantik menor dan bodi-bodi mereka yang ramping gemulai itu. Mata Mr. Rigen mêndolo dengan besarnya. Tetapi, ekspresinya sangat serius meskipun juga memancarkan sesuatu yang bagaikan api di dalam sekam. “Oh, nang …..” mungkin begitulah seandainya Mrs. Nansiyem sempat menangkap ekspresi wajah suami pujaannya itu.

“Kok bolehnya sampai ndowoh kamu melihat lèdhèk-lèdhèk itu, Gen. Sampai bibirmu kerepotan mengerem ludahmu keluar.”

Ayakk, Bapak. Wong begini saja kok dicondro, lho.”

“Habis, wajahmu itu lho, Gen. Kok begitu seriosanya.”

Mr. Rigen pringas-pringis, tetap menatap foto lèdhèk yang ayu-ayu itu.

“Kok bisa nggih, Pak?”

“Apanya yang bisa?”

Ing atas-nya bocah ndéso saja lho, Pak. Ha, ênggih. Ing atas-nya …”

Héiisysy, ing atas-nya, ing atas-nya. Cêpêtan, kamu itu mau ngomong apa?”

Mr. Rigen masih tetap pringas-pringis dan tetap menatap foto-foto itu.

“Saya itu rak kagum to, Pak. Lèdhèk-lèdhèk ndéso Blora jaman saiki kok ya bisa ayu-ayu seperti ini nggih, Pak?”

“Lho, kenapa tidak, Gen?”

Cah ndéso itu sederhana-sederhana, Pak. Wong anaknya tani-tani ndéso yang mlarat saja lho, Pak. Ini kok bolehnya mewah, menor dan ayu-ayu.”

Waktu Mr. Rigen bicara, saya tidak lagi memperhatikan ekspresi wajahnya. Tetapi, saya lantas membayangkan sekali lagi lèdhèk-lèdhèk yang di-tayub di jalanan, di rumah-rumah waktu ditanggap, di pinggir sungai dan sawah waktu ada perayaan nyêlamêti jembatan keramat. Semua, mereka itu cantic-cantik belaka. Baju-baju mereka gemerlap, mengkilau dalam warna-warni yang mencolok. Make-up mereka menor binti mêdhok. Seringkali bahkan mirip topeng Bali atau wajah pemain teater Noh di Jepang. Atau geisha Kyoto. Tetapi, toh lèdhèk-lèdhèk ndéso itu secara kesleuruhan memiliki elegance tersendiri. Erotis memang, gerakan-gerakannya. Tetapi, bukankah semua tarian itu pada dasarnya selalu ada unsur erotisnya?

“Di Praci tidak ada itu, Pak, lèdhèk-lèdhèk yang kayak ini.”

“Ah, mosok to, Gen? Tiap desa pasti ada kembang-kembangnya yang cantik.”

“Betul, Pak. Saya tidak bohong. Kalau ada rak saya tidak ambil bocah nJati, êmbok-nya si Beni itu.”

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara teriakan.

Mbèèlll….! Bohoongng, Pak!”

Wé, lha. Omongan sesama lelaki kita ternyata dikuping Mrs. Nansiyem. Mr. Rigen dan saya tertawa cêkikikan seperti anak laki di sekolah yang ketahuan melihat gambar-gambar cabul oleh teman-teman perempuan mereka. Dan ternyata itu saja tidak cukup.

Tahu-tahu, Prof. Lemahamba, Ph.D, M.A., M.Sc., M.Ed., etc, etc sudah berdiri di ambang pintu dan melangkah masuk. Saya dan Mr. Rigen terperanjat, tidak sempat lagi menyembunyikan foto-foto lèdhèk Tayub itu. Gek masuknya mobil itu kapan? Kok tidak kedengaran apa-apa?

Haa, got you! I knew it, I knew it! Ternyata majikan dan buruh sama saja seleranya. Ayo, sini lihat foto-fotonya!”

Seperti ketahuan guru di kelas, dengan patuh kami serahkan foto-foto itu kepada sarjana intelektual, semi konglomerat yang dahsyat itu.

“Hoa-ha-ha-ha … Geeeng, Geng. Ternyata hanya segitu taste-mu. Saya kira kalau sudah jadi budayawan macam kau ini, taste-nya sudah super canggih. Tahunya kok masih sak lèdhèk-lèdhèk saja?”

Wah, untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan saya dengan Prof. Lemahamba, saya jadi rådå tersinggung dan anyêl juga.

“Lho, Prof. Apa beda antara saya Nayub dan penjênêngan ajojing, trokjing-trokjing di nite-club itu, Prof? Sama saja kan, Prof?”

“Ooh, different, different. Lain, Geng. Saya hanya ajojing, dansa di tempat-tempat yang canggih, lux, bergengsi internasional tinggi. Di Crazy Horse Tokyo atau Paris, bukan pojokan Kricak itu! Di restoran-restoran yang mahal. Dan konteksnya, Geng, konteks kultural, ekonomi maupun edukatifnya. Lain, Geng, lain. Di sana bisa ajojing dan berdansa. Untuk rilkes, untuk bisnis, untuk membina relasi, politik dan lain-lain. Juga biasa orang tua-tua macam kita ber-ajojing. Tapi di sini? Tayub itu hanya untuk maksiatnya wong déso. Sudah jelas pada mlarat mencari hiburan jogèdan dengan lèdhèk-lèdhèk. Apa itu? Tidak produktif secara ekonomi, secara kultural dan secara moral. Di sini ora pantês orang tua kayak kamu jog dan!

Wéé, lha. Gawat nih. Prof.Lemahamba mulai kumat, nih.

“Wah, Prof. Apa yang harus saya katakan terhadap kritik panjênêngan yang ilmiah dan kontekstual itu. Jadi, yang boleh jogèdan tari pergaulan itu, hanya para priyagung yang bisa ke luar negeri saja, to? Rakyat kecil yang ekonominya kêtlènyèk tidak boleh to, Prof? Pegawai negeri dan dosen cèkèrèmès seperti saya juga tidak boleh? Atau hanya orang kota yang punya duit yang boleh ajojing di disko? Lha, terus hiburannya wong ndéso itu apa, Prof …?”

Eh, ganti saya yang terus kumat. Ngoceh, ngoceh èn ngoceh. Prof. Dr. Lemehamba, Ph.D., M.Sc., M.Ed  and sak banjur-nya  itu tahu-tahu sudah mak klêpat hilang dengan BMW mulusnya.

Saya tercenung sendiri. Akhir bulan ini umur saya jadi sweet. I mean suwidak alias enam puluh. Menurut Prof. Lemahamba tidak pantês, saru, kalau di dalam negeri masih suka jogèdan atau trokjing-trokjing. Kalau di luar negeri, boleh! Elho? Rasionalisasi apa ini? Karena, kalau di luar negeri menyesuaikan diri dengan adat luar negeri atau karena kalau di luar negeri dumèh tidak kelihatan terus mbanyaki? Atau memang konsep tua kita yang unik. Tua itu menurut kita, renta dan thuyuk-thuyuk. Yang lampau itu tua dan thuyuk-thuyuk. Jowo itu tua. Paling tua. Lebih tua dari Islam, lebih tua dari Londo, lebih tua dari Kristen. Yaaa…, kira-kira satu lichting dengan Betara Guru atau Semar, begitulah. Jadi tua, tuwo, buat kita itu agung, suci, sêrêm dan thuyuk-thuyuk. Lha, apa ya pantês to kalau orang tua itu ajojing di tanah Jowo? Ooh, tidak! Lain kalau di luar negeri. Kalau di luar negeri ….

Yogyakarta, 28 April 1992

*) gambar dari hay16.com