nasi gorengPADA hari Minggu kemarin tiba-tiba saya kangen masak nasi goreng sendiri. Sudah sangat lama saya tidak masak nasi goreng. Dulu reputasi saya masak nasi goreng lumayan tingginya. Dimulai dengan setengah memaksa setengah mengancam anak-anak saya untuk serempak mengatakan bahwa masakan nasi goreng bapaknya luar biasa enak, keahlian memasak nasi goreng itu lama kelamaan saya kuasai juga.

Anak-anak, istri dan pembantu rumah, tanpa ancaman tanpa intimidasi mulai memuji nasi goreng saya sebagai “enak dan unik”. Bahkan mereka mulai kepingin tahu resep nasi goreng ala Ageng itu. Dengan senyum misterius saya katakan bahwa itu adalah rahasia seorang chef. Tidak ada seorang chef termahsyur dari restoran terkenal mau mengobral resepnya, kataku dengan genting.

“Tapi Bapak kan bukan chef. Paling cuma koki amatiran,” protes si mBak.

“Dan rumah ini juga bukan restoran, Be. Ini rumah kita bersama, Be. Nggak ada rahasia-rahasiaan itu, Be,” sambung si Gendut.

Saya semangkin jual mahal tidak mau memberi tahu mereka rahasia bumbu nasi goreng itu. Tetapi, akhirnya saya mengalah juga setelah ibunya anak-anak ikutan protes dan mengancam,

“Kalau Bapak tidak mau memberi tahu resepnya, kita boikot nasi gorengnya. Biar Bapak sendiri yang menghabiskan.”

Wah, celaka ! Ini ancaman yang kelewat gawat. Sebab masak nasi goreng ini hanya salah satu dari sekian cara saya untuk memuaskan kompleks narcissus saya. Yaitu kompleks mengagumi diri sendiri. Kalau warga klan saya berhenti mengagumi pemimpinnya mau dikemanakan wajah pemimpin yang cuma pas-pasan ini.

“Baiklah. Tapi Bapak hanya mau mmperlihatkan bagaimana nasi goreng itu dibikin. Jadi, langsung mengundang kalian untuk belajar dengan bekerja. Learning by doing. Mau ?”

Oke, oke, Be.”

Dan dengan gaya seorang chef restoran Maxim di Paris, saya mulai mengenakan apron alias oto tali papat saya yang terbuat dari potongan jarik istri saya yang sudah kelewat lungset dan mbladhus. Si Gendut menawarkan mentega Blue Band. Saya tolak. Si mBak menawarkan echt boter, mertego tenan dari negeri Belanda. Saya tolak juga. Saya pergi ke sudut-sudut lemari dapur. Mengendus-endus cangkir-cangkir gopel tempat menyimpan berbagai macam jelantah. Anak-anak saya ikut cengar-cengir setiap kali saya mengendus satu cangkir. Akhirnya saya pilih jelantah bekas gorengan telor dan gorengn teri. Saya jadikan satu, saya kocok. Kemudian saya sampingkan sejenak. Kemudian saya mulai meramu cobek dengan lombok merah, bawang merah, sedikit bawang putih dan terasi Tuban sepotong agak besar.

Anak-anak saya kelihatan cemas dan mungkin juga deg-degan melihat ramuan tersebut. Sesudah garam saya taruh mulailah saya mengulek cobek itu. Si mBak sudah gatal tangannya ingin merebut ulek-ulek dari tangan saya. Mungkin baginya tangan bapaknya yang buyuten itu tidak akan mampu melumatkan bumbu-bumbu itu. Keliru dia ! Tangan buyuten itu justru menambah vibrasi yang sangat ritmis, yang akan besar pengaruhnya buat keenakan bumbu itu.

Kemudian ikan teri dan dendeng gajih dari Solo saya potong-potong. Sesudah itu barulah api boleh dipasang. Dan wajan ditaruh di atasnya. Api mestilah ajeg besarnya. Kemudian sreenggg … sreenggg … sreenggg … Dendeng gajih dan teri dilempar dulu ke jelantah campuran telor dan teri. Sesudah mulai agak mateng dan bau mulai keluar, ditimpa dengan bumbu yang diulek lembut tadi. Lagi sreenggg … sreenggg … sreengggg … Sesudah bau campur aduk itu mulai benar-benar menggedel, air mata mulai berlelehan dari mata saya dan anak-anak saya, barulah nasi dilempar ke wajan. Sekarang srek … sreekk … sreeekkk. Mencicipi harus berkali-kali. Sebagai finishing touch kecap Juwana di-crut-crut-kan secara merata. Kalau asap sudah mengepul-ngepul dari sela-sela nasi yang sekarang kelihatan berminyak, merah dan mlekoh, angkatlah wajan dari kompor dan nasi goreng pun siap untuk dipindah ke pinggan besar. Rajangan telor dadar boleh juga di-kepyur-kepyur-kan bersama daun seledri dan irisan tomat. Sekali lagi anak-anak dan istri saya menikmati nasi goreng chef mereka. Tersalurlah komplek narcissus saya.

“Bagaimana, sudah bisa bikin nasi goreng ala Ageng ?”

“Wah, terlalu kompleks pelaksanaannya, Be. Teorinya saja bagaimana, Be. Prinsipnya saja, priye ?

“Lho, sudah diajari bikinnya kok masih tanya teori ! Kalau sudah tahu praktek apa masih perlu teori ?”

Si mBak yang paling ilmiah di antara kami semua tertawa terkekeh.

“Be, Be. Harusnya kan teori dulu, prinsipnya dulu, baru kemudian praktek. Kalau tahu teorinya kan kita tinggal coba menerapkannya, Be.”

Begitulah pelajaran nasi goreng sekian tahun yang lalu di rumah saya di Cipinang Indah. Sekarang pada hari Minggu kemarin tiba-tiba saja saya kepingin masak nasi goreng sendiri. Bukannya nasi goreg Mr. Rigen & Mrs. Nansiyem tidak enak. Enak sih enak. Cuma kurang nyuusss saja, karena meraka memasaknya secara trial and error.

“Kalo Pak Ageng masak nasi goreng itu tiori-nya kados pundi ?

“Elho, kamu nanya teori, Gen ? Ada … ada teori nasi goreng itu, Mister !”

Lha pripun ?

“Begini, lho. Nasi itu mesti digoreng sama jelantah, jangan mertego. Sambelnya di-ulek pakai terasi yang sedep. Pokoknya bumbunya itu semangkin mblekethek dari dapur sendiri semangkin enak …”

“Wah … tiwas saya kalau bikin nasi goreng pakai mertego, lho.”

Waktu sudah kekenyangan duduk di kursi goyang, saya baca di Kompas Minggu, Teori Nasi Goreng. Edaannn …..

Yogyakarta, 5 Juli 1988

*) gambar dari tempatonlineku.com

**) video dari youtube.com. Diunggah oleh Kemas Wijaya