masakMENUNGGU waktu makan siang pada hari Minggu kadang-kadang terasa amat panjang. Apalagi kalau tidak banyak yang kita lakukan pada waktu itu. Teve dengan acara rutin yang itu-itu saja, pekerjaan lemburan sedang kosong, utang penulisan makalah sudah lunas, tidak ada kawan yang datang untuk mengobrol. Maka sempurnalah kebosanan menguasai Minggu siang itu.

Di dapur Mrs. Nansiyem menggoreng tempe, Mr. Rigen sedang memarut kelapa, Beni Prakosa memetik daun bayem. Saya dapat menduga pastilah menu makan siang itu sayur bobor bayem, tempe goreng, sambel tempe bakar dan mungkin ayam goreng atau bandeng goreng. Hampir tidak mungkin mereka akan mencantumkan empal daging sapi pada siang itu. Wong tanggalnya sudah tua bongkok, mana harga-harga di pasar sudah melangit.

Melihat trio kitchen cabinet saya bekerja dengan rileks, terampil dan gembira begitu, hati saya ikut senang juga. Apalagi suasana antara mereka itu bolehnya rukun begitu, lho. Mongkok hati saya. Itu pertanda bahwa dari tubuh saya cukup kuat sinar wibawa, aura yang mengayomi mereka memancar dengan kuatnya. Bukankah itu syarat utama bagi setiap orang yang ingin madeg menjadi raja yang baik ?

“Kalian pasti sedang masak jangan bobor bayem, tempe dan sambel tempe bakar. Jangan lupa sambelnya diciprati minyak jlantah biar sedep dan gurih.”

“Kok Bapak tepat sekali dugaannya, lho. Padahal tadi pagi Bapak tidak dhawuh macam menu apa-apa, lho.”

“Ya,apa susahnya nebak kalian masak apa pada tanggal tua begini. Kalian pasti tidak nggoreng empal, to ?”

“Wah, ketebak lagi, Pakne. Siang ini cuma nggoreng bandeng, kok Pak.”

“Nahh … rak tenan ! Ya udah nggak apa-apa. Asal jangan bobor-nya tidak kemanisan, sambel tempe mlekoh jlantah-nya dan bandeng gorengnya kering.”

“Siipp, Pak Ageng. Siipp.” Dan si bedhes cilik, Beni Prakosa mengacung-acungkan jempolnya.

“Siipp ki apa, Le ?

“Siipp itu enak, Pak Ageng. Jangan bobol siipp. Bandeng siipp. Blongkos mboten siipp.”

Melihat Mrs. Nansiyem cak-cek dengan terampilnya menggoreng tempe, menyaut sayuran lantas dicemplungkan ke dalam panci, menyaut lagi santan yang diperas suaminya dan keringat yang dleweran dari dahinya, sekali-sekali menetes ke dalan lautan jangan bobor, tidak bisa lain bagi saya selain semangkin mengaguminya. Dapur memang wilayah kekuasaannya. Di situ dia menunjukkan wibawanya. Mr. Rigen dan Beni Prakosa tidak bisa lain selain menerima otoritas Mrs. Nansiyem itu.

“Coba, Pak. Lari sebentar angkut jemuran itu. Kayaknya mau hujan itu.”

Dan Mr. Rigen, direktur kitchen cabinet yang berwibawa itu, lari dengan tergopoh-gopoh diikuti anaknya. Baru saja selesai melaksanakan tugas sang istri itu, datang lagi perintah yang lain.

Cepet pergi ke Bu Arjo, Pak. Beli lombok merah dan bawang merah buat nyambel. Beni nggak usah ikut, di sini saja.”

Dan Beni yang sudah siap nggonceng bapaknya mulai membik-membik mau nangis.

Heshh, nggak usah nangis. Katanya sudah lebih tiga tahun !”

Dan suara Mrs. Nansiyem begitu berwibawa hingga tangis itu tidak jadi runtuh membasahi pipi anak kecil itu. Dan begitu Mr. Rigen datang, menyusul perintah berikutnya.

Cepet ulek sambel-nya, Pak. Tahu-tahu kok sudah siang, lho. Sido kapiran tenan, Bapak nanti.”

Saya yang duduk di kursi rotan di gang dekat dapur merekam semua itu dengan asyik. Dalam bulan ini sudah dua hingga tiga kali saya terlibat dalam pembicaraan tentang hak asasi wanita, jam kerja wanita, upah wanita, tidak adilnya masyarakat memperlakukan wanita. Melihat tandanya, gerak-gerik dan nada serta irama Mrs. Nansiyem menguasai dunia perdapuran, suami dan anaknya, makalah yang bagaimana lagi bisa ditulis tentang wanita ?

“Mrs. Nansiyem !”

Dalem, Pak.”

Kowe tahu arti emansipasi wanita ?”

“Apa, Pak ?”

“E-man-si-pa-si wa-ni-ta.”

“Oo … eman-eman wanito, to, Pak. Lha, ya sudah sepantesnya dieman-eman to, Pak, tiyang wedok niku …”

Hessh … Bune, Bune. Mbok jangan keminter, sok pinter gitu, to. Matur bares, terus terang sama Pak Ageng. mBoten ngertos, Pak.”

“Nah, rungokno, dengar baik-baik …”

Maka sebagai pembela hak asasi wanita, sebagai pengagum wanita, saya pun lantas menjelaskan apa makna emansipasi wanita itu. Pokoknya saya jelaskan kalau emansipasi itu artinya bebas dari belenggu penindasan. Penindasan siapa ? Tentu saja penindasan suami, penindasan aturan permainan masyarakat, bahkan penindasan keluarga sendiri. Perempuan selalu disia-siakan, wong wedok disia-sia, diperlakukan tidak adil. Dan lain sebagainya.

Selesai menjelaskan begitu, saya diam. Mengamati wajah trio anggota kitchen cabinet itu. Mereka menatap saya dengan wajah melongo. Mungkin sedang mencoba mencerna kuliah saya yang sangat bermutu dan canggih itu. Ahh, mereka tidak menyadari betapa beruntungnya mereka punya majikan priyayi Korpri, elite birokrasi seperti saya. Tidak semua pembantu dapat previlese, keistimewaan, mendengarkan kuliah yang begitu canggih, bukan ? Kuliah yang akan membuat mereka batur-batur yang progresif dan berwawasan luas !

Tiba-tiba, seperti orang yang baru lepas dari hipnotis, mata mereka membelalak melihat ke wajan di kompor. Asap mengepul. Bau gosong.

Matik aku, Pakne. Bandenge gosong, bandenge gosong. Cepet, cepet, … angkat Pakne. Minyaknya dibuang, wajane digrujug air !”

Dengan sebat trio saya itu cak-cek membereskan krisis sebentar itu. Bau asap gosong memang masih terasa, tetapi suasana sudah mulai tenang kembali. Celaka, sedikitnya ada empat bandeng yang jadi areng, gosong. Malam nanti makan apa ?

Pripun kalau begini, Pak ?”

“Lho, kok pripun ?”

“Gara-gara Bapak ndongeng ngeman-ngeman wanito, bandengnya gosong sedaya. Bukan salah saya, bukan salah saya, Pak.”

Saya tertegun melihat rasa bersalah menguasai wajah Mrs. Nansiyem.

“Terus nanti malam Bapak dhahar apa, coba ? Tanggal tua begini anggarannya sudah tipis ! Makanya kalau orang lagi kerja itu, Bapak jangan ngganggu, to. Lenggah saja sing eco. Sudah nanti malam manggil sate saja, nggih ?!

Wah, di depanku bukan lagi Mrs. Nansiyem, anak buah Mr. Rigen dalam kitchen cabinet. Di depanku adalah Madam Rigen yang ambil inisiatif me-rigen-kan semuanya. Dan kami yang ada di depannya manggut-manggut manut beliau belaka.

Eman-eman wanita, eman-eman wanita. Eman-eman bandenge gosong sedaya …..

Yogyakarta, 22 Desember 1987

*) gambar dari ranting-basah.blogspot.com