buto cakilselain dari ujian berbahasa Indonesia yang baik dan benar, saya harus menjalani ujian atau lebih tepatnya interogasi lain dari Mr. Rigen and family. Waktu saya merebahkan badan di tikar untuk, sebagaimana biasa, di-behandel oleh tangan ajaib direktur kitchen cabinet, begitu saja dan dia mulai bertanya,

Kémpol-kémpol Bapak ini kok kerasnya bukan main. Berapa lama malam itu menari ?”

“Sebenarnya tidak berapa lama. Paling cuma sepuluh menit, Gen.”

“Bapak didhapuk jadi apa ?”

“Jadi salah satu dari raksêså sèwu nêgoro. Memangnya kenapa ?”

Ha, inggih niku, Pak. Coba namanya itu siapa ?”

Ditya Nguntal Arto Nêgoro. Memangnya kenapa ?”

Ha, inggih niku, Pak.”

Kalimat itu tidak diteruskan, tetapi terasa sentuhan tangannya yang nyêt-nyêt itu makin diperkeras. Juga kemudian saya tahu si bêdhès cilik, Beni Prakosa, ikut-ikutan memukul-mukul pantat saya.

Atho … atho … ! Kenapa sih, kalian ? Sakit lho !”

Ha, inggih niku, Pak. Ha wong …

Ha inggih niku, ha inggih niku ! Kamu itu ngomong apa ?”

Ha, inggih niku, Pak. Wong milih rol kok dadi buto. Terus namanya kok ya Ditya Nguntal Arto Nêgoro. Pantês aja, Pak.”

Pantês bagaimana ?”

Buto itu kan èlèk to, Pak ? Sudah èlèk tukang nguntali arto nêgoro.”

“Lantas ?”

Lha, karuan saja Bapak jadi kêsiku danyang buto. Mereka marah Bapak sembarangan main rol itu.”

“Lho, sembarangan bagaimana to, Gen. Sebelum gladi resik kami semua slamêtan itu, Gen. Makan nasi tumpeng, gudangan dan ingkung pitik, lho !”

Ha, inggih. Tapi Bapak kan tidak khusus minta ijin kepada danyangé buto. Dan nama itu juga nama berat, Nguntal Arto Nêgoro. Belum pernah ada dalam dunia pewayangan ada nama begitu, Pak.”

“Wah, lha bagaimana saya tahu ada danyang buto segala. Tahu saya main wayang ya main begitu saja, Gen. Terus bagaimana ?”

Lha, ya ini kémpol-kémpol Bapak jadi keras semua !”

“Ooo … dhapurmu, Geenn, Gen. Danyang buto mana ada urusannya sama kémpol-kémpol ?!

Elhoo, Bapak ini bagaimana ?! Danyang buto itu jelas marah terus ngirim tenaga dalamnya ke kémpol-kémpol Bapak. Ayo, Lé, bantu Bapak. Kamu pukul bokong Pak Ageng keras-keras. Bapak biar terus pegang kémpol-kémpol ini.”

Dan penyiksaan itu dimulai lagi. Ciloko ! Punya punakawan kelewat kreatif beginilah resikonya, kadang-kadang harus menderita secara fisik.

Waktu akhirnya mereka melepaskan cengkeraman dan membiarkan saya duduk kembali, badan ini terasa serba berbunyi rêngkiyêt-rêngkiyêt, bagai mesin yang sudah lama tidak kena oli. Mr. Rigen datang membawa kopi jahe panas.

“Naah … sekarang sudah enteng to, Pak ? Tenaga dalam danyangé sudah saya usir.”

Beni Prakosa pringas-pringis mendekati tempat saya duduk.

“Pak Ageng, persennya mana, Pak Ageng ?”

“Persen gundhulmu, Lé. Wong kamu ikut menyiksa kok masih berani minta persen. Persen thothok gundhulmu sini.”

“Ampuunn, Pak Ageng. Sakit !”

Dan ia pun lari ke belakang mencari ibunya.

Sambil mênyêruput kopi jahe panas, saya ingat pentas wayang malam itu. Pengalaman yang indah dan dahsyat. Bersama penari-penari jago kapuk yang rata-rata pernah menari empat puluh hingga lima puluh tahun yang lalu. Kami dibaurkan dengan para penari wayang wong Bharata yang profesional dan sangat berbakat.

Dengan semangat dan dedikasi yang mengharukan mereka menari menjabarkan peranan yang dibebankan kepada mereka. Ada yang tamatan SMA, tetapi kebanyakan adalah drop-out berbagai tingkat sekolah. Dengan sabar dan penuh toleransi mereka mengikuti gerakan tari kami, jago kapuk yang hanya karena tidak pernah diberi kesempatan oleh sang waktu untuk mencapai taraf Rusman dari Sriwedari itu, yang pada malam itu pating gêdhobrak bergerak-gerak bagaikan satu peleton panser.

Kies Slamet, salah seorang penari gagahan profesional terbaik sekarang ini, dengan serius berhadapan dengan kami gerombolan buto, raksasa, yang hanya mau lebih serius untuk bidang-bidang yang lain (yang lebih menguntungkan). Sebagai Rama Bargawa yang mengerikan itu, Kies Slamet membabat kami dengan seriusnya. Dengan tidak kalah seriusnya (setidaknya begitulah itikadnya) gerombolan itu mênggêlundung satu demi satu.

Pada zaman voor de oorlog, zaman sebelum Perang Dunia II, honor untuk buto-buto yang sekali tampil langsung mati dibabat begitu adalah sêbénggol atau dua setengah sen. Jumlah yang bisa untuk beli dua mangkuk soto daging thethelan dan segelas teh panas. Pada malam itu “buto-buto sêbénggolan” itu tidak terima apa-apa. Buto-buto itu sudah cukup bangga bukan main karena sudah diperbolehkan ikut main dan masih ditambah masuk liputan media massa.

Tetapi, bagi mereka, penari profesional dari wayang orang Bharata itu, dengan atau tanpa bantuan dari penari tiban seperti kami ini, the show must go on. Meskipun honor mereka sudah berlipat entah berapa ribu kali sejak zaman sebenggolan dulu, nasib mereka mungkin masih saja tetap “sêbénggolan”. Honor yang mereka terima masih sejauh rentangan makan untuk hari ini. Belum bisa direntang lebih jauh lagi. Apalagi untuk disisihkan sebagai tabungan. Tentu ini tidak berlaku bagi para super star seperti Rusman, Darsi, Surono dari Sriwedari atau Kies Slamet dan Aries Mukadi dari Bharata. Mereka adalah maha bintang yang sudah terlanjur mukti.

Toh, wayang orang Bharata boleh dibilang untung juga (kapan sih orang Jawa pernah tidak untung?). Pemerintah DKI Jaya terus memberi subsidi yang boleh dibilang cukup dan memodali yayasan mereka untuk kesejahteraan mereka. Sekarang wayang orang Bharata boleh dibilang wayang orang paling profesional di negeri ini. Gedungnya di bilangan Senen itu selalu mendapat kunjungan yang lumayan. Mutu koreografinya bagus dan rapi. Begitu pula dengan kostumnya. Semua menunjukkan hadirnya tangan-tangan pembina yang memang mau melihat wayang orang maju. Tentu itu semua karean dulu ada seorang Djajakusuma, yang sayang sekali telah meninggal setahun yang lalu. Dan untuk memperingati tokoh pembina itulah, pada malam itu para jago kapuk itu rela jadi penari tiban dengan harapan siapa tahu Pak Djaja di atas sana berkenan untuk tertawa cêkikikan.

Tetapi, sampai kapan wayang orang dapat bertahan ? Berapa banyak wayang orang yang masih tinggal ? Mungkin tidak lebih dari empat atau lima kelompok wayang orang profesional yang masih berdiri. Untuk memakai istilah Mr. Rigen mungkin danyang-danyang wayang orang itu sudah banyak yang pindah men-danyangi pertunjukan lain yang lebih punya gebyar dan, tentu saja, lebih menguntungkan. Kalau betul kepercayaan Mr. Rigen itu, maka danyang-danyang buto yang mengirim tenaga dalam masuk ke dalam kémpol-kémpol saya itu adalah danyang yang satu ketika mesti dihadiahi satya lencana kebudayaan.

Tiba-tiba Beni Prakosa masuk sirik-sirik, lari-lari kecil, sambil mulutnya mengucap ‘ning-nung, ning-nung’. Kepalanya memakai mahkota dari daun-daun nangka, mulutnya ditambah dengan siung, di perutnya melilit selendang ibunya. Dia menggerak-gerakkan kakinya kemudian berhenti di depan saya.

“He, hee, heee … Pak Ageng buto ! Beni minta arto ! Saiki, yooo. Kalau tidak awas Pak Ageeeng … !”

Ning-nung, ning-nung … buto pengemis itu keliling kemudian jatuh bersimpuh di depan saya. Tangannya menengadah, ngatong,

Oalahh, buto kéré. Jangan mau didhapuk jadi raksasa yang nggak punya duit. Kalo sudah didhapuk jadi buto ya harus berani kaya. Nguntal arto nêgoro. Hua, hua, ha,ha, haa … begitu. Ayo diulang sana !”

Ning-nung, ning-nung, ning-nung. Beni Prakosa keliling lagi. Waktu berhenti, dia berdiri di depan saya.

“He, hee, heee … Pak Ageng buto. Mana duitnya. Saya mau beli es tung-tung, Pak Ageng. Ya, Pak Ageng, yaa … “

Saya tersenyum memberi uang seratus perak kepada wayang cilik itu. Saya ngunandikå,

‘Memang ada buto yang berbakat nguntal arto nêgoro tapi ada juga buto yang berbakat kecil-kecilan alias drêmis, cukup mengemis uang kecil buat beli es tung-tung. Wong namanya juga wayang, kok … ‘

Yogyakarta, 16 Nopember 1988