balito ngowohTholo-Tholo, adik Beni Prakosa, adalah anak yang berbahagia. Bagaimana tidak, pada usianya yang baru tiga tahun itu dia adalah raja di rumah kami. Tentu bukan raja absolut murni. Dia adalah raja yang semi-konstitusional. Dikatakan semi-konstitusional karena meski ada konstitusi yang lengkap dengan Pembukaan dan Mukadimahnya, yang dulu telah saya ciptakan bersama seorang co-founding father dan seorang co-founding mother, yaitu Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem, konstitusi itu sering ditafsirkan dan diperlakukan sak énak wudêlé Tholo-Tholo. Bahkan oleh kami semua juga. Tidak heran kalau kerajaan kami itu jadi kerajaan yang luwes, penuh pangêrtèn dan têpå-slirå. Sebentar-sebentar ada penyimpangan dan pembelokan tafsiran konstitusi. Tapi, tidak apa juga, wong kerajaan itu tetap berdiri juga dengan adhêm ayêm-nya. Kami juga bersumpah bahwa di kerajaan kami itu tidak akan ada satu kup, baik yang berdarah, semi-berdarah maupun yang tidak berdarah sama sekali. Tetapi, sumpah itu tidak terlalu lama karena kemudian dilanggar sendiri oleh Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem.

Waktu itu yang menjadi raja adalah sang Prabu Beni Prakosa. Pemerintahannya ternyata hanya bisa bertahan empat tahun. Kup yang didalangi Mr. Rigen dan istrinya itu terjadi ketika pada satu pagi mak cêngèr, Tholo-Tholo lahir.  Begitu lahir, Mr. Rigen membuat proklamasi bahwa mulai saat itu Beni Prakosa dilorod pangkatnya sebagai raja semi-konstitusional. Pangeran Tholo-Tholo yang kemudian diangkat menjadi raja. Raja Beni Prakosa, meski kelihatan diam saja dimantankan oleh bapaknya, saya tahu, bahwa di dalam hatinya mendongkol juga. Raja mana yang senang di-abdicate dengan seenaknya oleh bawahannya, apalagi kalau yang dikira bawahannya itu di belakang layar adalah bapak dan ibunya sendiri. Apalagi waktu Tholo-Tholo sudah bisa berjalan dan kemudian bisa tåtå-jalmå, meskipun tåtå-jalmå-nya itu adalah tåtå-jalmå yang masih sangat elementer. Ngomongnya baru ah-uh, ah-uh, tapi jelas maksudnya. Memanggil kawula di rumahnya sak énak wudêlé dhéwé. Memanggil saya “ak geung”, memanggil ibunya “uuk”, memanggil bapaknya “aak”, dan ini yang saya kira paling menyakitkan kakaknya “miiin”. Mungkin maksudnya “mas Beni”. Apa boleh dikata, itu kemauan sang raja!

Maka, tidak mengherankan kalau Beni Prakosa selalu berusaha melakukan obstruksi, karena mau kup atau revolusi tidak mungkin. Obstruksi itu, yang saya kira adalah obstruksi klasik di seluruh dunia, berupa upaya merebut kue santapan sang raja, mencubit kecil lengan sang raja, menciprati muka sang raja pada waktu mandi bersama. Meskipun target obstruksi itu hanya nenangis, tapi saya kira, itu sudah cukup untuk menggerogoti wibawa sang raja, King Tholo-Tholo. Raja itu sekali-sekali banyak memberi konsesi kekuasaan juga kepada opposant-nya itu. Ah, mungkin taktik politik yang berkuasa menghadapi oposisi di seluruh dunia dimulai sejak dini begitu …..

Pokoknya Tholo-Tholo anak yang berbahagia. Dia sangat menikmati segala privilege yang diberikan alam kepadanya sebagai raja. Saat-saat itu terutama waktu Beni Prakosa, peneror utamanya, sudah berangkat ke sekolah. Kerajaan itu sepenuhnya ada di tangannya. Dia akan meng-gêlibêt di dekat saya waktu saya sedang membaca koran dan menghadapi nyamikan pagi saya.

“Ak Geung!”

Inggih, wontên dhawuh, Gustii?

“Tak uweeh!”

Saya pun segera mencomot sêcuwil apa saja yang berada di depan saya. Pisang goreng, klêpon, krupuk, timun pokoknya apa saja. Semua caosan alias percikan upeti saya pun diterimanya dengan wibawa seorang raja. Tersenyum, plêndhas-plêndhus, ngglênggêm. Wah, … saya ngunandikå di dalam hati, semua yang memegang kekuasaan tidak besar tidak kecil, bila mendapat sesuatu dari bawahannya kok selalu begitu lho, ekspresinya. Tersenyum, plêndhas-plêndhus, ngglênggêm.

“Enak, Your Highness King Tholo-Tholo?”

“Nak.”

Kepalanya pun mengangguk lagi.

“Lagi?”

“Gi.”

Dan beliau pun meng-êmplok cuwilan kuwéh itu dengan sekali êmplok. Aêum, plung, lêgêndêr langsung ke mulut.

“Enak?”

“Nak.”

Kepalanya pun mengangguk kembali dengan meyakinkan. Dan melirik gerak-gerik gêlibêtan-nya, agaknya dia masih membutuhkan satu-dua êmplokan lagi.

“Lagi?”

“Gi.”

Saya cuwil lagi, kemudian saya berikan. Eh, beliau menggelengkan kepalanya. Tangannya menunjuk ke potongan kuwéh yang besar di meja. Wéé, lha! Sang raja mulai tahu kekuasaan. Dia tidak lagi puas dengan upeti-upeti yang kecil-kecilan. Dia mulai menuntut upeti yang lebih besar. Dan karena saya adalah kawulå alit saja, tur ingin selalu menjaga keseimbangan kerajaan, permintaan baginda tentulah harus saya penuhi. Terus sak cuwil lebih gêdhé, terus sak cuwil lebih gêdhé, terus sak cuwil lebih gêdhé lagi. Harapan saya sampai perutnya jadi atos kekenyangan. Eh, ternyata roso kenyang itu pun sang pemegang kekuasaan yang memastikan.

“Dah.”

“Betul sudah, Baginda? Sekarang mandi sana!”

Tholo-Tholo pun lari ithik-ithik ke belakang. Berbeda dengan raja sebelumnya yang badannya memang lebih gendut dan sekarang menjadi bongsor itu. Tholo-Tholo berjalan ithik-ithik lebih majestic. Lebih sadar gaya raja. Ithik-ithik, thimik-thimik. Tubuhnya memang kelihatan ramping seramping anak-anak bangsawan Solo dan Yogya dulu.

Kamar tengah pun jadi ramai sebentar. Saya sudah meng-olak-alik koran Kedaulatan Rakyat sampai tujuh kali, tapi belum mudhêng juga! Akhir-akhir ini koran ini agak terlalu stylish sampai saya harus tujuh kali meng-olak-alik. Atau ai-kyu manula saya yang sudah tidak nututi lagi?

Tiba-tiba, ithik-ithik, thimik-thimik. Eh, King Tholo-Tholo sudah kembali lagi dan sudah siram bersih. Di tangan kirinya sebuah ukulele plastik, di tangan kanannya sebuah mainan senjata otomatis. Wah …! Di tangan kiri lambing cita rasa halus, damai dan penuh roso keindahan. Di tangan kanan lambang keperkasaan, siap menggebuk siapa saja yang akan merongrong wibawanya. Dipandangnya muka saya dengan penuh wibawa.

“Ak Geung!”

Inggihhh, Baginda.”

“Tel ipii!”

Wéé, lha! Sang baginda menurunkan dhawuh untuk menyetel teve. Wah, hebat! Anak raja-raja Eropa yang seusia dia membutuhkan guru-guru pribadi yang berijazah sekolah-sekolah tinggi yang canggih yang akan mengajarnya sampai dia siap masuk sekolah. Ini, King Tholo-Tholo cukup lewat T(elevisi) P(endidikan) I(ndonesia). Maka, saya pun segera memasang teve.

Sang King Tholo-Tholo meletakkan ukulele dan senjatanya di meja. Kemudian beliau duduk bersila rapi sekali. Matanya memandang teve dengan khusyuknya. Matanya bersinar penuh dengan roso ingin tahu, intelektualistis. Ibunya, Ibu Suri Mrs. Nansiyem, pelan-pelan datang dan menyodorkan satu piring kecil berisi dua tempe bacêm. Kemudian Ibu Suri pelan-pelan dengan tanpa suara mengundurkan diri.

Sang raja dengan mata tak berkedip tetap menatap siaran TPI. Tangannya pelan-pelan menyaut satu tempe bacêm. Nyuss, … nyuss. Dua gigitan. Tapi mata itu terus menatap televisi. Pak guru sedang menerangkan arti lingkaran. Dipegangnya sebuah roda, sebuah roda gerobak yang besar sekali. Itulah lingkaran. Kemudian berbagai lingkaran kecil ditunjukkan. Kemudian berbagai kode matematika. Setelah itu Chipmunk, marmut kecil yang pandai menyanyi. Semua dipandangnya tanpa berkedip. Setelah itu ada Nur Afni, égal-égol menyanyikan “Gêthuk”. Kemudian waktu saya longok ke arah Baginda, eh, beliau sudah tergeletak tertidur di tikar. Saya mengangguk. Saya mengerti, TPI sudah melaksanakan tugasnya mendidik tunas muda kita …..

Yogyakarta, 2 April 1991

*) gambar dari instagram24.com