nasi-padangAPAKAH ukuran perut Anda dalam menerima makanan ? Ukuran biologis, fisiologis, psikologis atau ternyata ideologis ? Dulu saya mengira itu urusan jasmaniah belaka. Perut laki-laki besar karena tadhah-nya juga banyak, makannya juga lebih dokoh. Lha, bagi wanita, karena badannya rata-rata juga lebih kecil dan ramping dibandingkan laki-laki, tadhah-nya juga lebih kecil, makannya juga lebih sedikit ber-kêcêmik-kêcêmik.

Eh, ternyata tidak, lho ! Sesudah saya sering melanglang kepulauan kita, ternyata banyaknya orang makan itu (pinjam istilahnya sahabat saya Arif Budiman) kontekstual adanya.

Di Sumatra dan Sulawesi Utara misalnya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan dokoh-dokoh, lahap, belaka dalam menyantap dhaharan mereka. Tidak ada itu istilah cimak-cimik dalam makan. Semua rahap, lahap, penuh gusto dalam urusan makan-memakan itu. Tidak seperti di Jawa. Yang laki-laki pun makan ya secukupnya saja, apalagi yang perempuan. Cimak-cimik, sedikit-sedikit. Mencuil lauk-pauk, apalagi daging dan ikan (bagi Mr. Rigen semua itu namanya ‘ikan’) cuma sak suwir-sak suwir bagaikan mencubit lengan kekasihnya. Dan bila muluk, nasinya bukan sekepal-sekepal, tetapi bagaikan menjimpit beras dari tampah. Dan nasi yang tidak menggunung itu di piring itu juga tidak habis dimakan. Wah, jaan, orang Jawa itu !

Ternyata semua itu bukan masalah besar atau kecil ukuran perut. Ternyata itu urusan ideologi budaya Jawa.

nDuuk, kalau makan itu jangan banyak-banyak. Saru, malu-maluin. Cukup sedikit saja. Kalau makan banyak nanti tidak payu rabi, lho. Tidak ada yang mau ngawini kamu.”

Dan,

nDuuk, kalau makan itu tundukkan kepalamu, jangan nengok ke mana-mana. Tidak usah tergesa-gesa. Dan meskipun lauknya enak dan miråså, jangan terus tèlap-tèlêp, dokoh, sak piring dikuras habis. Alon, nDuk, alon. Saru kalau putri makan tèlap-tèlêp. Nanti …..”

Begitulah para leluhur wicaksånå orang Jawa memberikan indoktrinasi etiket makan kepada putri-putrinya. Wahh, élok. Kok ada, lho, indoktrinasi etiket makan seperti itu. Sesudah saya pikir-pikir, ternyata itulah ideologi budaya Jawa jaman dulu. Yaitu ideologi masyarakat feodal aristokrasi. Itulah, saya kira, ideologi halus versus kasar. Yang halus yang dekat-dekat dengan wong cilik sana. Yang halus kalau makan cimak-cimik, alon-alon. Yang kasar kalau makan was-was, lahap, dokoh. Tetapi itu jika dilakukan oleh pihak laki-laki, tidak apa-apa. Laki-laki boleh apa saja dalam masyarakat begitu.

Hatta, orang-orang Minang para perantau yang perkasa itu, turun dari ranah mereka menyerbu ke antero kepulauan kita. Dengan tumpukan piring di tangan kanan dan kiri, mereka buka rumah-rumah makan. Orang Betawi, orang Sunda, orang Jawa, orang Bali, orang Makasar, orang Ambon, orang Irian Jaya, bahkan konon katanya orang rembulan juga, harus belajar melahap rendang, sate Padang, dendeng balado, daging asem pêdèh dan entah apa lagi. Dan ajaib, semua orang itu kok ya jadi senang makanan yang buat ukuran orang Jawa kelewat pêdhês seperti jamu. Dan ajaibnya lagi, para urbanis-urbanis van Java itu di Betawi jadi kader-kader yang prigêl, trampil, di rumah-rumah makan Padang. Bahkan lidah mereka yang tebal dan volume suara yang ulêm bin mêdhok dengan speed sepeda motor merk Norton itu, eh, kok ya bisa lho lari sambil bawa tumpukan piring sembari teriak-teriak dalam bahasa Minang.

“Nasi ciek. Seganya siji, malih …”

Alkisah, baru-baru ini saya jual kecap ceramah di Rumbai dan Duri, di kerajaan Caltex, Propinsi Riau. Mereka menyambut saya dengan makan siang. Makan siang itu dihidangkan di guest house yang dingin ber-AC, berarsitektur West Coast, USA itu, eh … lhadalah, masing-masing kita mendapat nasi bungkus sak pêthuthuk, setinggi gunung anakan. Begitu dahsyat bin kolosal ! Waktu dibuka, srêêttt, eh … lhadalah lagi. Rendangnya gêdhê sak èpèk-èpèk tangan, daging kerbau lagi. Seratnya besar-besar dan sangat potensial untuk jadi slilit yang kolosal pula. Waktu mulai dilahap, eh … lhadalah lagi. Ternyata rasanya memang mak nyuss, enak betul ! Meskipun harus hoh-hah, hoh-hah, kepedasan.

Waktu selesai ceramah dan esoknya pulang, saya bertanya kira-kira apa yang bagus untuk dibawa pulang, untuk oleh-oleh. Dengan serempak para insinyur-insinyur muda dari Jawa itu menjawab,

“Nasi bungkus, Pak.”

Dan saya pun pulang dibawain nasi bungkus yang kolosal itu. Waktu sampai di rumah Cipinang Indah, para kerabat keluarga saya sedang mengelilingi meja makan, siap untuk makan siang.

Stop, stop dulu ! Jangan makan dulu. Ini ada oleh-oleh untuk makan siang dari Pakanbaru.”

Semua yang di sekeliling meja makan langsung menghentikan suara mereka. Dengan penuh ketegangan mereka melihat bungkusan-bungkusan yang masih hangat itu saya letakkan dengan penuh seremoni di piring-piring.

Jabang bayi ! Itu bom atau roket ?!”

Husyy ! Ini nasi bungkus Minang Pakanbaru yang paling dahsyat seantero dunia. Ayo, coba !”

Karena sang patriarch memerintahkan untuk makan makanan yang keluar dari bungkusan kolosal itu, mereka pun patuh membuka bungkusan itu. Mata mereka terbelalak melihat daging rendang yang tergeletak dan ikan ayam yang nangkring di atas nasi yang padat itu.

Jabang bayi ! Itu sadel apa rendang ?!”

Husyy ! Ini rendang kerbau. Enaknya ngaudubillah syaiton. Ayo, makan !”

Dan perintah kedua sang patriarch diikuti lagi. Mereka mulai makan. Mata brayat saya kelihatan pating pêndêlik, melotot-melotot, tetapi tetap saja makan terus. Dan eh, angubillah syaiton, habis lho, habis !? Padahal anggota brayat saya itu semuanya putri-putri Mantili dengan pendidikan putri-putri keraton. Eh, kok ya habis lho, bungkusan sak pêthuthuk itu ?!

Wah, memang budaya Minang itu budaya yang hebat ! Ideologi halus dari budaya Jawa takluk melawan nasi bungkus Minang Pakanbaru.

Waktu pulang di Yogya dan ada rapat staf di kantor, saya ingin mengulang sukses dahsyat dari nasi bungkus kolosal itu. Makan nasi bungkus Minang semua ! Pakai rendang, pakai ikan ayam. Dan waktu kita semua looking forward untuk mendapat nasi bungkus kolosal seperti cerita saya tentang nasi Minang Pakanbaru itu, eh … kita jadi kecewa. Nasi bungkus Minang itu kecil-kecil seperti nasi bungkus Gudeg Malioboro. Dan rendangnya pun tidak selebar èpèk-èpèk tangan atau sadel kuda, tetapi cuma sebesar krèwèng wingkå. Dan ayamnya pun hanya nangkring, eh … sebesar kutuk, anak ayam yang suka berkotek itu. Wéé … lha, ternyata tidak semua tempat nasi bungkus Minang kolosal dan bisa menaklukkan budaya halus orang Jawa.

Di sini, di Yogya ini, budaya halus Jawa kayaknya kok masih menang. Makan kita ya cimak-cimik, tidak lahap. Habis, nasi bungkus Minang atau Padang dibikin konstekstual, sih …

Yogyakarta, 12 September 1989.

*) gambar dari iqbalparabi.com