iskandar mudapulang dari Aceh untuk menghadiri Pekan Kebudayaan Aceh yang ke-3, badan terasa loyo semua. Kaku dan keju rasanya seluruh bagian tubuh. Gemelethuk bunyi tulang-belulang setiap digerakkan, bahkan untuk gerakan yang paling kecil sekalipun !

Perjalanan ke ujung dunia Indonesia itu ternyata memang terasa semangkin berat buat seorang menula seperti saya ini. Dan setiap kali saya melakukan perjalanan jauh seperti itu, semangkin saya diingatkan akan status kemanulaan itu. Wah … syusyah ! Kok proses menjadi tua ini ternyata cepat sekali. Rasanya baru kemarin saya hadir di upacara dies natalis di Pagelaran sambil menyedot sebotol Green Spot dan sekantong kue yang saya dapat lewat perjuangan berebut dengan beratus mahasiswa lain. Tahu-tahu sekarang sudah harus menyaksikan anak-anak diwisuda, kawin-mawin dan punya cucu.

Mak kreteg ! Boyok ini terasa kaku dan kenceng lagi. He … saudara manula kenapa begitu cepat kau masuk, angslup, merasuk ke dalam tubuh saya ? Apa tidak bisa perjalanan angslup-mu itu agak diperlambat sedikit ? Biar saya tidak kesusu gampang teler dan loyo seperti sekarang ini.

“Geenn … Mis-terr Rigeenn !”

Yes, eh … inggih !

Dhapurmu ! Rene !

“Ada apa, Pak ?”

“Lho, kok masih tanya ?! Kalau kamu lihat aku sudah membujur horisontal di tikar begini, tubuh nglokro, hayoo … aku kepingin apa ?!”

Weh … Bapak mau klangenan lama. Pijit. Rak inggih, to ?

“Naa … pinter kamu baca sasmita. Ayo mulai !”

Maka segera saja terasa grayangan mejik dari tangan Mr. Rigen. Jari jemarinya yang kuat hasil tempaan tanah tegalan Pracimantoro yang gersang plus gemblengan meja cuci, isah-isah, di dapur terasa kuat mencekam kaki dan kempol-kempol saya yang lelah. Sekali lagi saya merasa beruntung mempunyai direktur kitchen cabinet seperti Mr. Rigen. Ada beberapa gelintir direktur kitchen cabinet di dunia ini  (baik di Barat atau Timur) yang bisa merangkap menjadi tukang pijit yang canggih ?

“Pak ?”

“Huh …”

“Aceh itu apa ya jauh betul to, Pak ?”

Lha, iya. Kenapa ?”

“Badan dan seluruh tubuh Bapak kok pada terasa capek semua. Mestinya Aceh itu ya jaauuhhhh sanget nggih, Pak ?”

Ha, iya. Wong ada di ujung Pulau Sumatra sana ! Kamu bisa bayangkan bagaimana jauhnya itu ?”

“Ya, bisa Pak. Wong dulu waktu SD juga dapat pelajaran ilmu bumi lho, Pak.”

Lha, ya sudah. Berapa jauh Aceh itu dari sini, kira-kira ?”

Mr. Rigen berpikir keras. Wong pegangannya di kaki saya terasa mengendor.

“Ha … kira-kira ya bolak-balik Praci-Wonogiri 27 kali terus masih ditambah ngubengi, keliling, Gunung Gandul 10 kali. Inggih apa mboten ?

Rupamu ! Ya, masih kurang jauh sekali, Gen. Wong naik pesawat jet dari Jakarta saja kira-kira tiga jam itu.”

Weh … edan tenan jauhnya ! Lha, terus orang-orang Aceh yang di sana itu apa seperti mahasiswa Aceh yang di sini, Pak ?”

Lha, iya. Wong sak suku, kok. Ning wong Aceh itu macam-macam tampangnya. Ada yang putih blengah-blengah, ada yang hitam cemani seperti Kresna, ada yang matanya biru seperti Londo, ada yang hitam, ada yang seperti orang India. Pokoknya macam-macam.”

Weh … kok begitu ?”

Lha, iya. Aceh itu sejak dulu-dulu duluuu jadi tempat perdagangan dan tempat mampir macam-macam bangsa. Lha, karuan saja mereka pada berbaur, Gen. Aceh itu dulu kerajaan hebat lho, Gen. Rajanya naik gajah lho, Gen.”

Weh … elok. Gajah itu jadi tumpakan ratu ?”

Lha, kalau raja agung binatara ya mesti begitu, Gen. Lha, raja sana itu dulu juga suka adu gajah.”

Weh … elok. Gajah kok diadu, lho. Terus dapatnya gajah itu gek dari mana ?”

“Ya, dari hutan, Gen. Hutan di sana masih banyak gajahnya.”

Weh … kalau hutan di sini kok cuma banyak munyuk dan kera saja, lho.”

Ha, iya. Yang masuk desa munyuk-nya malih jadi seperti kamu to, Gen ?”

Yakk … Bapak ki terus menghina, lho ! Ning kalau sama kerajaan Mentaram hebat mana kerajaan Aceh itu, Pak. Rak hebat Mentaram to, Pak ?”

“Ya, mungkin sama-sama hebat.”

Ning apa raja Aceh punya Kiai Plered, punya kreto kencono, punya istri ratu lelembut Nyai Roro Kidul, punya Sultan Agung yang pernah ngepung mBetawi ? Nggak punya to mereka, Pak ?”

Saya jadi terkesima. Sambil tengkurap, memejamkan mata, menikmati jari-jari Mr. Rigen yang terus nyet-nyet-nyet menggerayangi belakang badan saya. Saya jadi ingat yang pada hadir di seminar Pekan Kebudayaan Aceh itu. Mereka, tua dan muda, yang masih pada penuh kebanggaan, berbicara tentang kedahsyatan Iskandar Muda Yang Agung, yang telah berhasil membangun suatu kerajaan yang kuat lagi makmur. Tentang kehebatan generasi nenek dan buyut mereka yang melawan Belanda. Tentang keperkasaan mereka mempertahankan Aceh sebagai wilayah terakhir dari Republik Indonesia. Suatu kebanggan dan kerinduan yang wajar dan dapat dimengerti, karena itu semua memang sudah dicatat dalam buku besar sejarah kita.

Tetapi waktu mereka diingatkan bahwa semua raja besar di Nusantara ini, termasuk Iskandar Muda dan Sultan Agung, adalah raja-raja yang absolut kekuasaannya dan karenanya, mestinya, juga sewenang-wenang, kok banyak dari mereka yang naik amper-nya. Juga waktu diingatkan bahwa pengorbanan rakyat Aceh mengumpulkan dana lewat obligasi nasional dan sekarang “dikemplang” oleh pemerintah pusat sebaiknya diikhlaskan saja sebagai salah satu dari sekian banyak rentetan “tumbal” kemerdekaan. Seperti tumbal rakyat Jawa Barat yang mati dibunuh DI/TII, rakyat Jawa Timur yang mati dibunuh PKI, rakyat Sulawesi Selatan yang dibunuh Westerling. Kok mereka jadi terheran-heran mendengar argumentasi “tumbal” itu ?

Pripun, Pak. Betul kan kalau saya matur Jowo itu masih unggul dari siapa saja di nuswantoro ini ?”

Mak jenggirat ! Saya melepaskan diri dari pijitan mejik Mr. Rigen. Saya merasa shock berat mendengar ucapan Mr. Rigen. Mr. Rigen direktur kitchen cabinet saya masih berpikir uber alles Jowo ?! Out ! Dia mesti saya keluarkan ! Bikin malu komuniti intelektual di mBulak Sumur saja. Mukanya tanpak begitu tidak berdosa. Lantas saya ingat berbagai perjalanan saya di hampir seluruh kawasan Nusantara. Wah … kok semangat uber alles daerah itu masih kuat betul, lho. Apalagi dengan kehadiran orang Jawa di mana-mana, kayaknya semangat uber alles itu kok semangkin menggebu-nggebu seperti jelas terlihat di Aceh waktu saya ada di sana.

“Eh … Mr. Rigen. Saya kasih tahu, ya ! Yang uber alles itu cuma Indonesia ! Nggak ada itu uber alles Jowo, uber alles Aceh, uber alles Minangkabau, uber alles Makassar ….. “

Wajah Mr. Rigen terheran-heran melihat bosnya jadi beringas.

“Lho, Pak. Yang nguber-nguber tales niku nggih siapa …… ?”

Yogyakarta, 6 September 1988

*) gambar dari tell-you-about-everything. blogspot.com