hari pertama sekolahpada tahun pengajaran ini, Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem memutuskan untuk menyekolahkan anak mereka, sang bagus Beni Prakosa. Pagi-pagi, beberapa hari menjelang hari pertama masuk sekolah, mereka menghadap saya.

“Lho, ada apa ini ? Kok tanpa konsultasi agenda terlebih dahulu tampil secara pleno ?

“Ya, nyuwun samudra pangaksami, Pak Ageng. Sudah berani-berani melanggar prosedur. Begini saja sudah dumarojok tanpa sarapan.”

Saya terpaksa tertawa ngakak. Beni yang ikut duduk ngedhepes men-dhempel ibunya ikut-ikutan tertawa.

Dhapurmu ! Ya, sudah. Tanpa atau pakai sarapan, bilang saja apa maumu.”

Kedua suami istri itu saling memandang. Anak mereka ikut-ikutan memandangi orang tuanya bergantian.

“Begini lho, Pak. Beni mau kami masukkan sekolah Senin depan ini.”

Elhoo ! Bocah baru tiga setengah tahun umurnya kok sudah mau disekolahkan ?! Apa tidak terlalu kecil ?!”

“Ya mestinya begitu. Cuma sekarang dia itu sudah terlalu nakal di rumah. Kami sudah terlalu repot ngladeni dia. Pekerjaan kami jadi keteter semua.”

Elhoo ! Memasukkan anak sekolah kok ukurannya nakal atau tidak nakal. Mestinya rak sudah cukup umur atau belum. Tiga setengah tahun itu masih terlalu kecil, Mister. Nanti dia cepat bosan, lho. Cepat kangen sama bapak ibunya.”

“Kami sudah mempersiapkan semuanya kok, Pak. Sudah kami beri endog teri nasi tentang sekolah. Dia pun sudah seneng. Malah tiap hari sudah orek-orekan di kertas, nggambar dan membaca buku Donal Bebek paringan Bu Ageng dulu. Rak ya begitu to, Le ? Seneng to kamu sekolah ?”

Beni Prakosa cuma pringas-pringis. Ibunya mencubit paha anaknya.

“Ayo, matur seneng sekolah sama Pak Ageng. Ayoo !”

Sekali lagi Mrs. Nansiyem mencethot paha anaknya.

Uaaduhh ! Sakit, Buk ! Seneng, seneng. Seneng sekolah, Pak Ageng !”

Dan mak jranthal Beni pun melarikan diri menjauhi kemungkinan cethotan lain.

“Terus anakmu itu mau kamu sekolahkan di mana ?”

“Di taman kanak-kanak yang baru dibuka. TK Indonesia Hebat.”

Edyaann ! Elok tenan, Mister ! Betul itu namanya ? Taman Kanak-Kanak Indonesia Hebat ? Edyaann tenan ! Lha, terus yang mau diajarkan itu apa saja ? Dan kamu kok bisa saja nemu sekolah yang seperti itu ?!”

“Betul, Pak Ageng. Namanya memang begitu, TK Indonesia Hebat. Yang mendirikan kabarnya para mantan, purnawirawan dan warakawuri. Lha, saya diberitahu sama pembantunya Pak Propesor Lemahamba. Menurut cerita Pak Propesor, sekolah itu akan jadi sekolah yang hebat. Anak-anak yang sekolah di situ akan jadi anak-anak yang hebat juga. Akan dapat pekerjaan hebat dengan gaji yang hebat juga.”

Welehh, hebatnya bagaimana, Mister, menurut Pak Propesor Lemahamba ?”

Ha, inggih pokoknya hebat. Katanya sekolah itu nanti separo waktunya akan diajari baris sing apik banget, terus yang seprapat etung-etungan, yang seprapat lagi ajar pidato.”

Wah, elok tenan ! Lha, miturut Pak Propesor itu nantinya mau dapat pekerjaan dan gaji yang hebat itu, gek pekerjaan dan gaji yang bagaimana itu ?”

Ha, inggih mboten ngertos, Pak. Saya itu kan cuma wong cilik tamatan SD Pracimantoro. Tahu saya rak membayangkan si thole itu nanti akan jadi serba hebat. Itu saja, Pak. Eee…siapa tahu ya Bune, anak kita akan bisa mikul dhuwur orang tuanya.”

Saya lihat Mrs. Nansiyem manggut-manggut, matanya sedikit berkaca-kaca. Kedua suami istri itu saling memandang dengan penuh kemesraan dan harapan. Apa yang dapat Anda perbuat melihat pemadangan seperti itu kecuali terharu.

Yo, wis. Aku setuju ! Wong bocah mau disiapkan jadi bocah hebat, je ! Mosok nggak setuju. Setuju ! Itu nanti kan seragamnya delapan macam, kan ? Wong separo waktunya buat baris berbaris gitu, kok. Yo wis, baju seragam nanti aku yang tanggung.”

Mr. Rigen dan Mrs. Nansiyem lengser dari paseban dengan mata berbinar-binar. Kadang-kadang saya suka membayangkan adegan seperti itu seperti adegan wayang “Langen Mandra Wanara”, yang para penarinya menari tanpa berdiri tetapi dengan duduk menjengkeng.

Beberapa hari pun berlalu semenjak peristiwa tersebut. Saya berada di Jakarta untuk berbagai pekerjaan ditambah dengan penderitaan flu yang membandel mengendon di tubuh saya. Sering kali di kamar, bersama Bu Ageng, kami membayangkan bagaimana sang bagus Beni Prakosa melewati hari-harinya di sekolah yang serba hebat itu.

“Apa tidak keberatan buat anak seumur Beni itu, Pak ?”

“Itu tidak relevan, Bu. Keberatan atau tidak, yang penting itu hebatnya !”

“Lho, kok lucu. Anak sekolah kan ya mesti dipertimbangkan kekuatannya. Kalau dipaksa, bisa-bisa malah ambrol, lho.”

“Ah, kamu itu. Mestinya ya sudah diperhitungkan para pendirinya yang, menurut Prof. Lemahamba, memang pemikir-pemikir dahsyat di negeri kita. Sekali lagi, yang penting hebatnya itu lho, Bu. Hebat, hebat ! Wah, anak itu nanti akan jadi anak hebat betul, Bu. Baris, bergitung, pidato. Baris, berhitung, pidato. Baris, berhit ….”

Dan saya pun jatuh tertidur pulas sekali.

Waktu saya pulang ke Yogya, tidak sabar lagi saya tunggu Beni pulang dari sekolah. Saya lihat Beni datang dibonceng bapaknya. Di tubuhnya bergelantungan tas ransel, tempat minum dan tempat roti. Melihat saya, dia segera loncat dari sepeda bapaknya.

“Halo, Pak Ageng. Oleh-olehnya apa, Pak Ageng ?”

“Oleh-oleh gampang nanti. Yang penting senang tidak kamu sekolah ?”

“Siap, Pak Ageng.”

Anak itu langsung mengambil sikap tegak, gagah.

“Betul senang ?”

“Siap, Pak Ageng !”

“Terus, diajar apa kamu hari ini ?”

Tiba-tiba sikap tegaknya mengendur. Dia berdiri rileks sekali. Mukanya pun kelihatan rileks dan cerah.

“Tadi pagi saya jajan di sekolah, Pak Ageng.”

Hah, jajan ?”

“Jajan bakmi dibungkus plastik. Enak sekali.”

“Lho, kamu punya duit, apa ?”

“Iya, dua. Dikasih Ibuk. Besok jajan lagi. Seneng lho sekolah, Pak Ageng. Boleh jajan.”

Saya terkesima sebentar. TK Indonesia Hebat yang akan mencetak anak-anak hebat membolehkan anak-anaknya jajan ? Wah, elok tenan !

“Di sekolah juga ada yang jual bakso, Pak Ageng. Besok saya disangoni duit buat jajan bakso, ya.”

Saya mengamati muka anak itu. Begitu ceria, begitu gembira, begitu anak-anak. Jajan bakmi, jajan bakso. Mau jadi hebat bagaimana dia nanti ? tetapi entah mengapa dan bagaimana, tiba-tiba kok saya jadi merasa lega sekali membayangkan prospek Beni yang justru mungkin tidak akan jadi hebat. Seketika itu Beni saya angkat tinggi-tinggi, lantas saya dudukkan di lincak. Anaknya tertawa berderai-derai.

“Besok boleh jajan bakso ya, Pak Ageng ? Bakso, bakso, bakso …. “

Yogyakarta, 2 Agustus 1988

*) gambar dari dedesyafiq.blogspot.com