gudeg merconDari sudut gizi apalah artinya gudeg ?. Makanan yang unsur utamanya adalah nangka muda itu dimasak dalam lautan santan dalam waktu paling sedikit dua puluh empat jam. Dua puluh empat jam ! Dalam waktu selama itu manusia normal sudah akan tidur dan bangun sedikitnya dua kali, makan sedikitnya tiga kali, mandi dua kali dan ke belakang sekali. Belum lagi bekerja plus ngantuk-ngantuknya di kantor yang sedikitnya enam jam itu. Pendeknya, dalam dua empat puluh jam itu, alangkah banyak yang dikerjakan manusia.

Tetapi gudeg ? Dalam waktu selama itu, nangka muda itu diubleg-ubleg dengan kehangatan yang konstan dalam lautan santan, gula Jawa dan buillon plus kumpulan rempah-rempah yang hanya diketahui oleh juru masaknya.

Untunglah nangka muda itu tidak punya roh seperti kita. Bayangkan kalau mereka punya roh itu. Diubleg-ubleg dalam segala macam lautan bumbu begitu. Apakah mereka tidak akan berontak memecahkan belanga, meluberkan santan dan kaldu, menggelegakkan semuanya hingga dapur mbakyu penjual gudeg itu akan berantakan tenggelam dalam lautan kuah gudeg ?

Kalau hal itu sampai terjadi, koran Kedaulatan Rakyat pada esok paginya pasti akan memuatnya sebagai headline. Kira-kira laporan itu akan berbunyi seperti ini.

“Pemberontakan Gudeg ! karena sudah tidak tahan lagi menahan penderitaan yang berabad-abad lamanya, nangka muda di dalam belanga pabrik gudeg mBakyu Siyem berontak. Kuwali itu diledakkan dari dalam dengan suara menggelegar. Dapur itu hancur berantakan. Seorang pembantu mBakyu Siyem ditemukan mati tergeletak di dapur. Tubuhnya berlumuran santan, cuwilan nangka muda, tetelan daging dan tulang-belulang bertebaran di seluruh tubuhnya ….. “

Jadi dari sudut gizi, gudeg itu nyaris tidak berarti. Ia termasuk masakan yang over-overcooked, alias sangat terlalu lama dimasak sehingga menguap semua sari-sari vitaminnya. Tetapi, apakah masakan asli kita pernah sangat peduli tentang vitamin ? Lodeh, sambal goreng ati dan pete, opor, oblok-oblok, abon, akankah tidak terlalu menggubris akan kesegaran vitamin ? Yang penting eco, lezaat, mak nyuss. Tetapi, bicara tentang kelezatan gudeg, secara obyektif, kita harus mengakui bahwa itu relatif. Bagi orang Yogya jekek yang sudah bergenerasi tinggal dalam pelukan jas sogok upil dan mondolan telur, tentulah gudeg itu kelezatannya seklasik gamelan Sekaten. Tetapi, bagi wong sabrang yang datang ange-Jawa, gudeg itu terlalu manis, baahh !

Toh dari sudut kultur, gudeg itu adalah fenomena ajaib ! Ada unsur beyond, nun di balik sana. Di balik rasa gudeg yang dianggap eco, bisa dianggap terlalu manis itu, ada satu ikatan emosional yang aneh bagi siapa saja yang pernah bermukim di kota Yogya. Pak Affandi, pelukis ekspresionis yang kesohor seantero dunia tetapi berasal dari Cirebon dan bermukim di pinggir Kali Gajah Uwong, Ngayogyakarta, selalu harus nongkrong di depan bakul gudeg setiap kali beliau pulang dari perjalanan melukis di luar kota. Rasanya belum afdol kalau belum melahap gudeg sepulang dari jalan menggambar, kata beliau.

Almarhum Pak Wonohito, Pak Besut dan Pak Samawi hampir setiap malam sehabis tugas di belakang meja Kedaulatan Rakyat nongkrong di gudeg Bu Mul dan wedang Bu Amat di depan Pasar Beringharjo. Berhandai-handai dengan dua ibu itu, dengan siapa saja yang mampir nongkrong di situ. Menghirup udara malam, mengamati kehidupan sehari-hari sembari makan gudeg dan menyeruput wedang teh nasgitel, panas legi tur kenthel, adalah ritual yang sangat penting bagi almarhum pelopor-pelopor wartawan itu.

Para seniman yang habis nonton teater di Seni Sono atau lihat pameran di Purna Budaya atau mendengar ceramah di Karta Pustaka adalah juga pelanggan gudeg yang setia di sepanjang trotoar Malioboro. Dan sekali-sekali keluarga Presiden kita kalau kebetulan menginap di Istana Gedung Agung juga berkenan memanggil Bu Mul dan seorang kolega lagi untuk membawa gendongan gudeg mereka ke istana itu. Pak Harto dan Bu Tien sekali-sekali rindu juga jajan gudeg sembari nglesot di tikar. Pastilah bukan kebetulan kalau kehidupan malam sepanjang trotoar Malioboro dengan sederet gudeg-gudeg itu semangkin rame saja di kota ini. Beyond, nun di balik sana, itu pasti ada sesuatu …

Begitulah, pada suatu malam, saya mengajak beberapa teman dan Mr. Rigen untuk makan gudeg Bu Mul dan minum teh jahe di Bu Amat, di depan Pasar Beringharjo. Untuk kesekian kali, Mr. Rigen tidak begitu antusias ikut rame-rame makan gudeg begitu. Tetapi, karena ini perintah bos yang membutuhkan sopirannya, dengan penggrundelan di dalam hati, Mr. Rigen akhirnya mau juga. Meskipun dengan melemparkan pangunandikanya secara vokal kepada saya.

“Kalo Bapak rame-rame dhahar gudeg begini, apa Bapak tidak merasa buang-buang saja ?”

“Tidak. Memangnya kalau aku jajan dengan uang-uangku sendiri tidak boleh ? Lagi pula ini jajan gudeg. Nguri-nguri warisan tradisional. Saya kan tidak ngajak teman-teman dan kamu jajan steak dan hamburger, Mister.”

Lha, nguri-nguri gudeg di rumah kan ya bisa to, Pak. Urusan saya beli gudeg Selokan Mataram atau Juminten terus didhahar rame-rame di rumah kan bisa ? Kalau begini ini kan Bapak terpaksa begadang sampe jauh malam. Naaa… besok masuk angin ! Saya juga ikut repot !”

Cilaka ! Ini direktur kitchen cabinet sudah agak kejauhan kritiknya. Saya jadi agak tersinggung karena dia sudah mulai berhak mencampuri urusan dalam negeri saya. Juga karena dia tidak mengerti unsur beyond dari gudeg itu.

“Pokoknya kamu harus ikut. Titik. Ini proyek prioritas. Kamu harus ikut !”

Mr. Rigen tidak bisa lain daripada harus ikut. Nada sang bos sudah kedengaran final betul.

“Siap, Pak !”

Dan berangkatlah kita ke depan Pasar Beringharjo. Dan malam itu berjalan seperti malam-malam yang lain. Hangat, seronok, geerrr, srupat-sruput minum wedang, satt-sett melahap gudeg. Lempar melempar guyon kepada kedua ibu legendaris itu. Orang ngamen, baik yang siteran maupun yang Bob Dylan gadungan, tidak hentinya mampir minta pembagian honorarium. Mr. Rigen biasanya tidak mau ikut makan, tetapi cuma duduk di pojok lincak Bu Amat sambil nyeruput wedang teh nasgitel. Mungkin dari pojok begitu dia bisa merasa aman mengamati polah tingkah kami warga kelas menengah elite birokrasi yang sedang piknik ke bawah dengan para wong cilik. Saya lihat sebentar-sebentar dia tersenyum sendiri. Mungkin menertawakan absurditas ritual makan gudeg kami.

Tiba-tiba saya melihat ketebang-ketebang segerombolan wong sabrang datang, sahabat saya seangkatan di UGM dulu yang sekarang jadi bos besar di departemen dalam negeri, Mr. Robert Rajagukguk. Dan seorang lagi yang saya juga kenal, Mr. Johni Sibutar Butar, juga seorang petinggi di salah satu departemen di Jakarta.

“Wah … wah … wah… ini kok raja-raja mBatak pada turun ke kerajaan Jawa. Ada apa nih ?”

“Ha … ha … ha … ini si raja Zawa kok masih kerazan nongkrong teruz di Zogza. Gudegnya, Buk, yang bezar dada mentoknya, yang banyak nazinya. Kalau belum makan nazi gudeg di Zogza, belum zah, toh ?”

Dan sambil tertawa keras-keras, Raja memukul punggung saya keras-keras. Dan pesta gudeg itu pun jadi semangkin seronok.

“Eh, Raja. Seingat saya, dulu kau itu paling benci sekali dengan gudeg, lho. Yang terlalu manis lah, yang bikin eneg lah. Kok sekarang malah rindu gudeg ?”

“Ya, itulah gudeg. Kalau jauh bikin kita rindu. Kalau hari-hari di zini jadi bozan, ya ? Zama dengan kota Zogza, toh ?”

Dan kami pun melewatkan malam itu dengan saling mengingatkan zaman jauh sekali di belakang, yang sekarang kayaknya tampak begitu indah tanpa cela.

Di rumah, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Mataku mulai terasa berat betul. Dan boyok pun mulai berbunyi mak kreteg setiap saya gerakkan agak keras sedikit. Mr. Rigen melihat saya tampak begitu loyo, membantu saya melepas pakaian saya. Kemudian masih memandang saya agak lama menggeletak di tempat tidur saya. Sebelum meninggalkan kamar saya, dia masih sempat nyeletuk,

“Maaf, nggih Pak. Dhahar gudeg seperti tadi itu buat saya malah tidak cucuk. Ngebreh, tidak hemat. Kalo tadi dhahar gudeg di rumah, kan Bapak tidak gerah dan loyo seperti sekarang …”

Dengan mata belas kasihan dia memandang saya sekali lagi, terus menghilang di balik pintu. Saya menguap kuat-kuat. Boyok memang semangkin sakit. Tetapi ingat kawan-kawan lama tadi, malam lesehan yang begitu maat dengan gudeg dan wedang teh jahe, alangkah nikmatnya. Tidak cucuk, kata Mr. Rigen ! Mungkin buat dia ritual gudeg seperti malam itu, ritual mewah kaum priyayi yang dekaden saja. Mungkin gudeg buat dia mesti dihayati sebagai lawuh, lauk yang mesti dilahap langsung dengan nasi tanpa embel-embel apa-apa lagi. Sedang melahap gudeg seperti malam tadi itu hanya buang uang dan energi saja. Kaum priyayi sekarang yang bernama Korpri, sih ! Tetapi si Rajagukguk tadi, apakah dia juga priyayi ? kalau Mr. Rigen mendengar pangunandika saya, mungkin dia masih akan ngeyel begini,

“Ahh, dia kan Korpri juga. Jadi priyayi juga to, nggih. Dari namanya saja Rajagukguk. Pasti priyayi itu, wong raja kok …”

Yogyakarta, 15 Desember 1987

*) gambar dari tourjogja.com