martabak(kuliner007.blogspot.com)Agak rikuh juga sesungguhnya persatuan para pembantu rumah tangga di wilayah kami memakai kata-kata “djongos” (pakai ejaan lama lagi!) dan “babu”. Para majikan mereka saja, para anggota elite birokrasi itu, sudah melebur dan mengubur kata “priyayi” dan mengubahnya menjadi Korpri. Masak mereka, para pembantu itu, masih begitu konservatif bin kolot menamakan persatuan mereka PDD dan PBB. Konotasi penamaan itu masih kolonial betul. Djongos, babu …..

“Gen, mbok nama persatuan kalian itu dirubah yang lebih progresif begitu to, Gen !”

Mr. Rigen menghentikan pengepelannya dan Beni Prakosa menghentikan juga pemerasan lap pelnya.

Pripun, Pak. Nama PDD dan PBB diganti ? Tak mungkin, tak mungkin !”

“Tak mungkin, tak mungkin ….” Beni Prakosa ikut nyelonong membeo bapaknya.

Halahh, tak mungkin yo tak mungkin. Tapi nggak usah sewot kayak almarhum Johny Gudel begitu, to. Ini bedhes cilik juga begitu. Ikut nyerocos saja. Kenapa tak mungkin, Mister ?”

Lha, wong sudah dicoba ganti lewat rapat bola-bali gagal terus kok, Pak.”

Wong ngganti begitu saja kok susah banget to, Gen. Kan kalau sudah sadar kata “djongos” dan “babu” itu kolonial, menghina martabat kemanusiaan kalian, tinggal srett, nyoret kata itu to, Gen. Ganti apa, kek. Wong martabat kalian itu sama saja dengan kami priyayi, eh … para anggota Korpri. Ini republik sudah egaliter, Gen.”

Lha, nyatanya ya sudah begitu kok Pak, nyoret mak srett kata “djongos” dan “babu” itu. Martabat ya martabat, ning nyatanya banyak yang masih owel itu Pak, ngganti kata-kata itu.”

“Martabat itu masalah prinsip, Gen … “

“Pak Ageng, Beni mau martabak. Martabak ya, Pak Ageng … “

Huss, … bedhes cilik ngikut saja ! Ini urusan martabat bukan martabak. Sana, ikut mbok-mu sana, kalau mau ngurus martabak !”

Sambil membik-membik mau nangis, Beni lari ke pangkuan Ms. Nansiyem. Saya meneruskan wejangan tentang hak asasi dan martabat manusia merdeka yang sudah dijamin dalam Pancasila dan UUD 1945.

“Martabat kalian kudu tetap dijunjung tinggi. Jangan takut. Nanti aku yang nge-back jadi deking kalian.”

“Lho, Bapak ini. Wong sudah diaturi tidak bisa kok nekat saja, lho. Begini lho, Pak ceritanya …..”

PDD dan PBB itu ternyata memang sudah mengadakan rapat pleno gabungan beberapa kali untuk mengubah nama mereka. Bukan hanya saya dan para kolega, seperti Prof. Lemahamba, Dr. Wismangrebda dan Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah saja yang rikuh melihat fenomena per-djongosan dan perbabuan itu. Ternyata pemerintah pun begitu. Kanwil Tenaga Kerja sudah menghimbau mereka agar mengubah nama persatuan mereka itu.

Dan mereka pun lantas mengadakan rapat pleno gabungan itu. Berbagai nama baru diajukan dan perdebatan pun jadi sengit. Menurut Mr. Rigen ada yang usul mengubah nama itu menjadi “Persatuan Karyawan Wisma Pancasila”. Ditolak, karena itu nanti dikira karyawan guesthouse Wisma Pancasila. Kemudian ada lagi yang mengusulkan “Serikat Kaum Pekerja Rumah Tangga”. Ditolak lagi. Itu terlalu mengingatkan mereka kepada serikat buruh zaman PKI masih jaya dulu. Kan sekarang sudah Pancasila, kata salah seorang pemimpin mereka. Nama itu mesti ada Pancasila-nya. Maka nama baru pun diajukan lagi, “Korps Karyawan Keluarga Wisma Yang Pancasila” dipendekkan menjadi “Korkarkelwisyapan”. Wah, terlalu panjang. Lagi pula nanti dikira mau menandingi Korpri. Mana mungkin. Kan Korpri itu majikan-majikan kita, begitu dalih mereka. Dan juga, kalau kependekan yang panjang itu diucapkan dengan memotong di tengah, Kokarkel-wisyapan, kok kedengarannya kayak mau pamit pergi saja. Gagal lagi. Akhirnya seorang anggota wanita mengacungkan tangannya. Mengusulkan, “Mbok … jadi orang itu yang prasojo saja. Saya usul nama itu diganti Kawula Bendera Ngayogyakarta …” Usul itu memancing kegegeran. Lho, lho, lho … kok pakai “bendera” dan “kawula” segala. Kan kita sudah merdhika, mbakyu! Dan menurut Mr. Rigen, mbakyu itu sambil tertawa bilang, “Merdhika ? Merdhika mbel tut !” Maka rapat pleno gabungan itu pun segera bubar tanpa mengambil keputusan apa-apa. Artinya mereka ya tetap mempertahankan nama PDD dan PBB saja.

“Begitu lho, Pak, ceritanya. Susah kan, Pak, ngatur batur-batur ?

“Wah, kalian kok belum-belum sudah minder dan keburu putus asa begitu. Frappe, frappetoyours, Gen. Martabat, Gen, martabat …. “

“Wah, Bapak kok terus tape, tape mak nyuss. Martabak, martabak …. “

Seminggu sesudah itu ganti kami pengurus Paguyuban Penghuni Wisma Negara bersidang. Pengurusnya ya Cuma empat orang. Prof. Lemahamba, Dr. Wismangrebda, Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah dan saya sendiri. Acara tunggal membahas petisi dari PDD dan PBB. Adapun isi petisi itu demikian ;

Hunjuk Beritahu,

Bahuasanya harga beras dan baju dan jajan anak-anak naik. Muhun dengan sangat :

a)      Gajih dinaekkan mulai ini bulan

b)      Dapat tunjangan lauk pauk dan uang jajan

c)      Selesai

d)      Matur nuwun sangat

Tertanda atas nama sadaya anggota :

Sadimin H.P (ketua)
Riyadi H.S (sekeretaris)
Samijem B (bendahara)
Marsinem, mBok (sesepuh penasihat)

Kami memutar otak membaca petisi tersebut. Jelas petisi itu tidak segalak petisi 50, bukan pula susastra para sastarawan Yogya, tetapi isinya tegas, lempeng dan bias dimengerti. Kami berembuk dan berembuk. Memutar otak karena naluri kami sebagai akademisi dan intelektual bukankah mesti memutar otak. Juga untuk petisi yang begitu lempeng dan jelas serta buat saya pribadi agak mengharukan juga.

“Apa-apan ini !” seru Prof. Lemahamba yang lemahnya amba dan losmennya sukses.

“Kita sendiri sebagai abdi Negara belum naik gaji. Kok mereka minta naik gaji.”

“Dihitung dengan rumus statistik apa pun, kenaikan kebutuhan mereka dibanding dengan kenaikan kebutuhan dan tetapnya pendapatan kita tidak signifikan, dus, permohonan mereka tidak relevan.” Ir. Mohammad Ngelmu Saqhohah menyampaikan pendapatnya yang sangat ilmiah.

“Ini pasti ada unsur kiri, kalau tidak malah PKI dalam tubuh PDD dan PBB. Wong kita masih prihatin begini, kok. Mereka itu mbok ya rada Pancasilais sedikit begitu, lho !” Dr. Wismangrebda, yang rumah-rumah pribadinya dikontrak para kontraktor asing, menyampaikan pendapatnya dengan penuh tepo sliro. Akhirnya, kami memutuskan, untuk sementara, belum bisa menerima petisi itu.

Dan saya, yang katanya pemain film, akan bisa berakting di depan pengurus PBB dan PDD itu, dus saya yang harus menyampaikan jawaban kami itu. Matik aku! Aku yang tempo hari dengan penuh gusto berpidato tentang martabat kepada Mr. Rigen. Dan seperti itu belum cukup. Pertemuan itu ditutup dengan masuknya Ibu Lemahamba menyilakan suguhan. “Monggo, monggo lho. Martabaknya pumpung masih anget. Monggo, monggo …. “

Dan martabak itu memang masih anget. Mak nyusss ….!!

Yogyakarta, 8 Desember 1987

*) gambar dari kuliner007.blogspot.com